Sabtu, 17 Agustus 2019

Penyelesaian HAM Papua Mustahil Di Tuntaskan Oleh Pemerintah Indonesia



PENYELESAIAN HAM PAPUA MUSTAHIL DI TUNTASKAN OLEH PEMERINTAH INDONESIA

Oleh: Arnold  Meaga

Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar "yang seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia", dan yang "melekat pada semua manusia"  terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis atau status lainnya. Ini berlaku di mana-mana dan pada setiap kali dalam arti yang universal, dan ini egaliter dalam arti yang sama bagi setiap orang. HAM membutuhkan empati dan aturan hukum dan memaksakan kewajiban pada orang untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain. Mereka tidak harus diambil kecuali sebagai hasil dari proses hukum berdasarkan keadaan tertentu misalnya, hak asasi manusia mungkin termasuk kebebasan dari penjara melanggar hukum , penyiksaan, dan eksekusi.

Doktrin dari hak asasi manusia sangat berpengaruh dalam hukum internasional, lembaga-lembaga global dan regional. Tindakan oleh negara-negara dan organisasi-organisasi non-pemerintah membentuk dasar dari kebijakan publik di seluruh dunia. Ide HAM menunjukkan bahwa "jika wacana publik dari masyarakat global mengenai perdamaian dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu merujuk ke hak asasi manusia." Klaim yang kuat yang dibuat oleh doktrin hak asasi manusia terus memprovokasi skeptisisme yang cukup besar dan perdebatan tentang isi, sifat dan pembenaran hak asasi manusia sampai hari ini. Arti yang tepat dari hak asasi memicu kontroversial dan merupakan subyek perdebatan filosofis yang berkelanjutan sementara ada konsensus bahwa hak asasi manusia meliputi berbagai hak  seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil, perlindungan terhadap perbudakan, larangan genosida, kebebasan berbicara, atau hak atas pendidikan, ada ketidaksetujuan tentang mana yang hak tertentu harus dimasukkan dalam kerangka umum hak asasi manusia beberapa pemikir menunjukkan bahwa hak asasi manusia harus menjadi persyaratan minimum untuk menghindari pelanggaran terburuk, sementara yang lain melihatnya sebagai standar yang lebih tinggi.

HAM Tidak Berlaku Bagi Bangsa Papua Barat
Bentuk daripada HAM itu sendiri telah disampaikan di muka bahwa, HAM adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional secara universal. Oleh sebab itu, HAM berlaku bagi semua makluk manusia yang sedang hidup di bumi ini kecuali bagi manusia yang telah tiada dari kehidupan di bumi ini (Meninggal).

Bangsa Indonesia memiliki hak untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan kolonialisme secara politik ataupun fisik karena bangsa penjajah tidak memiliki hak untuk mengatur nasip hidupnya manusia lainnya ataupun suatu bangsa. Karena itu jiak bangsa Indonesia yang berjuta-juta tersebut bangkit nasionalismenya dan melawan penjajah kolonial maka itu adalah haknya bangsa Indonesia tersebut. Sebab, yang melakukan perlawanan yang oleh bangsa Indonesia atas bangsa penjajah tersebut di lakukan secara individu yang kemudian dari individu tersebut berkumpul menjadi sati-kesatuan yang besar dan solit dalam melakukan perlawanan terhadap bangsa paenjajah. Sebab, setiap individu yang bergabung menjadi satu-kesatuan yang besar tersebut memiliki hak asasinya sebagai manusia yang berhak dalam melawan dan mengusir bangsa penjajah kolonial.

Demikian pula bangsa Papua Barat memiliki hak asasi yang sama dengan bangsa Indonesia. Bangsa Papua barat selagi masih dijajah oleh bangsa kolonial yang pertama (Belanda), hak asasi manusia Papua sangatlah dihormati, martabat manusia Papua dan lain-lain. Oleh kerenya, hak asasi manusia Papua pada zaman penjajahan kolonial yang pertama dengan yang kedua sangat berbeda jauh hak asasinya manusia Papua tersebut. Hak asasi manusia Papua dalam berpolitik, berekonomi, bersosial dan berbudaya sangat dihormati dan dihargai oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai penjajah Papua yang pertama, bahkan bangsa Papua di izinkan untuk melaksanakan politik dalam menentukan nasipnya sendiri sebagai bangsa Papua yang merdeka dan berdaulat layaknya bangsa-bangsa lainnya yang ada di muka bumi ini.

Akan tetapi setelah bangsa kolonial pertama selesai menjajah bangsa Papua keluar dari bumi Papua, dan selanjutnya bangsa Papua mulai dijajah oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa kolonial yang kedua. Setelah awal integrasi Papua pada 1963 yang penuh dengan intimidatif dan manipulatif tersebut setelahnya bangsa Papua sah menjadi bagian dari Indonesia. Sejak 1963 awal integrasi Papua itulah hak asasi manusia Papua tiada pula berlaku lagi atau diberlakukan oleh pemerintah kolonial (Indonesia) tersebut. Hak asasi manusia Papua dalam dunia perpolitikan, perekonomian, kebudayaan dan sosial serta hak hidup manusia Papua diatas negrinya sendiri senantiasa di tutup hak asasinya. Bahkan dibawa pemerintahan kolonialisme Indonesia hak hidup bagi bangsa Papua sudah pula tiada jaminannya, haknya pun atas tanah-tanah adat dan lain-lain sudah tiada pula bagi orang-orang Papua. Ham bagi bangsa Papua tidak berlaku sama sekali, bangsa Papua tidak mengenal ham, karena ham telah di tiadakan di atas tanah Papua terhadap manusianya. Harkat orang-orang Papua di rendahkan oleh bangsa kolonial, sebab, seluruh bangsa Papua barat tidak memiliki hak asasinya secara individu ataupun universal. Oleh kerena itu, kehidupan bangsa Papua dengan Indonesia saat ini bagi bangsa Papua adalah ibarat hidup dalam api neraka yang senantiasa hidup dibawah penderitaan secara terus-menerus.

Data Korban Kasus (HAM) Papua
Dalam hal ini, saya tidak akan menyusun seluruh kasus ham yang pernah dilakukan oleh Indonesia (kolonial) yang sejak pada tahun 60an hingga saat ini. Sebab jika dapat saya susun secara keseluruhan (konkrit) terkait kasus ham Papua maka akan membuat anda yang mulia (pembaca) cape dan bosan melihat isi secara keseluruhan kasus ham yang telah disusun. Sehingga saya hanya akan memuat yang penting-penting saja yang jumlah korban hamnya cukup signifikan dari kausalitas tindakan aparat militer kolonial Indonesia itu sendiri terhadap bangsa Papua barat, karena itu susunan data ham ini disusun secara acak tidak hirarkis dan berdasarkan urutan tahun.

Sepanjang 2011, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejumlah praktek kekerasan dan patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM yang berat di Papua. Sebanyak 52 peristiwa kekerasan dengan 52 orang meninggal, 59 luka-luka. Termasuk diantara mereka berasal dari TNI dan Polri. Hampir berbanding lurus, angka kekerasan tersebut diiringi dengan angka yang hampir mirip dari ketiadaan penegakan hukum dari kasus-kasus tersebut. Pada November 2011, KontraS, perwakilan mahasiswa Papua, Foker LSM Papua, KAMPAK dan Perwakilan Pekerja PT Freeport pernah diundang ke Komisi I DPR RI dan mengadakan kunjungan ke Mabes Polri yang diterima oleh Waka. Polri, Sdr. Nanan Soekarna, Saud Usman dan sejumlah petinggi Mabes Polri. Dari pertemuan-pertemuan tersebut disampaikan data-data kekerasan yang terjadi di Papua selama beberapa bulan pada 2011. Sayangnya, tindakan tersebut tidak memberikan implikasi pada penurunan kekerasan di Papua. Dalam konteks Pemilukada pun, sejumlah organisasi yang sama yang disebutkan diatas, juga melakukan pertemuan dengan Panwaslu di Jakarta, mendesak agar Panwaslu optimal melakukan pemantauan dan membuat sebuah terobosan atas rangkaian kekerasan dalam sengketa Pemilukada yang berujung kekerasan. Sama, hasilnya nihil sejauh ini. Sementara di Papua, dialog hanya dilakukan lewat institusi perwakilan masyarakat di Papua seperti DPRP.

Memasuki 2012 kekerasan dengan dugaan terjadi pelanggaran HAM yang berat kembali terjadi dengan stabil dari satu kasus ke kasus lainnya. Dalam catatan Kontras, Foker LSM dan NAPAS telah terjadi 34 peristiwa kekerasan an mengakibatkan korban sebanyak 17 meninggal dan 29 orang luka-luka. Jumlah ini termasuk korban dari kalangan TNI dan Polri. Dari sejumlah kasus tersebut patut dicatat berbagai kejanggalan dari sikap, pernyataan dan kebijakan pemerintah, pihak kepolisian dan maupun pihak TNI.

Pelanggaran HAM Oleh Polisi
1. Penembakan Mako Tabuni, Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Pada tanggal 6 Juni 2012, sekitar pukul 09.00 Wit, Polisi menembak Mako Tabuni di depan Gereja Masehi Advent, Perumnas III Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua. Kejadian bermula ketika Polisi berusaha menangkap Mako yang sedang berada di sekitar kampus Universitas Cendrawasih Wamena. Berdasarkan informasi lapangan Mako dibuntuti oleh Polisi dengan mobil, salah satu mobil terindentifikasi jenis TAFT warna hitam dengan Nopol DS 447 AJ. Polisi turun dari mobil mencegat Mako dengan senjata dan langsung menembak di kaki. Keterangan Polisi, Mako ditembak dikaki karena berusaha melawan saat ditangkap. Polisi menangkap Mako atas tuduhan terlibat pelaku kekerasan di Papua. Namun fakta lapangan berdasarkan keterangan saksi, Mako tidak melakukan perlawanan. Bahkan Mako berusaha lari menyelamatkan diri setelah Polisi menembak di kaki, tapi kemudian Polisi menembak lagi di kepala hingga tewas.

Setelah peristiwa itu, masyarakat mengamuk membakar ruko, 3 mobil dan 15 motor (foto terlampir). Warga yang berada di lokasi sempat menghubungi Polisi untuk menangani tindakan brutal, tapi tidak ada polisi yang datang. Setelah api dipadamkan oleh warga, sekitar 1 jam kemudian baru Polisi, Brimob dan TNI mendadatangi ke lokasi kejadian. Sampai saat ini belum ada satu pun pelaku yang menembak Mako di proses secara hukum.

2. Penembakan Melianus Kegepe, Selvius Kegepe, Amos Kegepe, Lukas Kegepe, Yulianus Kegepe di Lokasi 45 Degeuwo, Desa Nomouwo, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai Papua.
Personil Brimob BKO Polda Papua, Pos Emas 99, beberapa personil teridentifikasi bernama Briptu Ferianto, Bripda Agus, Bripda Edi menembak 5 warga di lokasi Biliar Daerah 45 Degeuwo, Desa Nomouwo, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Papua, pada tanggal 15 Mei 2012, sekitar pukul 06.00 Wit. Kejadian bermula ketika Selpius Kegepe, Lukas Kegepe, Amos Kegepe, dan Markus Kegepe mendatangi tempat biliar untuk bermain biliar di lokasi 45. Namun pemilik biliar, Mama Waloni melarang mereka bermain. Keempat orang itu tetap bermain dengan mengambil sendiri bola biliar. Mama Waloni tidak terima kemudian menelpon Pos Brimob yang terletak di lokasi emas 99, sekitar 800 meter dari tempat biliar. Sektika personil Brimob mendatangi lokasi biliar dengan membawa senjata, lengkap helm baja dan baju anti peluru.

Saat Brimob datang, Lukas dan kawan-kawan keluar dari tempat biliar. Saat keluar Lukas mengeluarkan kata-kata “kamu datang cari makan di atas paha saya.” Kata-kata itu memancing emosi personil Brimob sehingga terjadi pemukulan terhadap Lukas dibagian mulut. Melianus Kegepe yang berada di rumahnya membawa balok mengejar personil Brimob yang memukul Lukas. Personil Brimob yang lain langsung menembak Melianus Kegepe dibagian perut hingga tewas. Personil Brimob juga menembak Amos Kegepe di kaki kiri dan betis kanan. Selvius Kegepe ditembak di lengan kanan. Lukas Kegepe ditembak di rusuk, dan Yulianus Kegepe ditembak dibagian punggung. Keempat orang ini mengalami luka kritis dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura. Anggota Brimob pelaku penembakan terhadap 5 warga itu sampai saat ini lepas dari proses hukum.

3. Pembubaran Paksa aksi KNPB oleh aparat kepolisian menyebabkan 1 orang tewas ditembak, 2 orang mengalami penyiksaan dan 43 orang ditangkap semena-mena.
Pada 4 Juni 2012, aparat gabungan Polisi dan TNI membubar paksa aksi KNPB dengan alasan tidak memiliki izin demontrasi. Hari itu, massa KNPB melakukan aksi menuntut penegakan hukum terhadap serangkain tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Namun aparat menghadang dengan senjata dan menyiksa massa saat sedang menuju titik sentral aksi, di Sentani, Expo dan Kota Madja Jayapura. Dalam peristiwa itu, Yesa Mirin tewas ditembak, Fanuel Taplo, Tanius Kalakmabin kritis disiksa dan 43 orang ditangkap oleh Polisi.

A. Pelanggaran HAM Oleh Militer
Penyerangan warga Wamena, Kabupaten Jayawijaya oleh TNI Batalyon Yonif 756 Wimane Sili/WMS, pada 6 Juni 2012, sekitar pukul 10.00 wib. Dalam penyerangan tersebut, Elinus Yoman tewas ditikam dengan pisau sangkur, dan 13 orang luka-luka ditikam dikepala, punggung, lutut, tangan, paha, dan beberapa bagian tubuh lainnya. Selain itu, TNI juga membakar 1 mobil, 2 rusak, 8 motor dibakar, 31 rumah warga dan 24 bangunan rumah sehat dibakar, 9 tempat usaha (kios) dibakar, dan 23 rumah sehat dirusak. Penyerangan terhadap warga tersebut sebagai bentuk balas dendam terkait pengeroyokan dua teman mereka, Pratu Ahmad Sahlan (tewas) dan Prada Parloi Pardede (kritis) oleh warga Wamena. Kejadian pengeroyokan terhadap dua anggota TNI tersebut terjadi karena anggota TNI tersebut menabrak seorang anak bernama Kevid Wanimbo di jalan Kampung Honelama.

B. Penembakan/Pembunuhan Misterius (Petrus) selama Januari-Juni 2012
Selain itu, kami juga mencatat pada bulan Januari sampai Juni 2012, insiden Penembakan Misterius (Petrus) meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan kami, tahun 2011 terjadi 13 peristiwa, 1 peristiwa terjadi tahun 2010 dan 12 peristiwa tahun 2009. Sementara pada tahun 2012, terhitung dari Januari sampai 11 Juni 2012, telah terjadi 18 peristiwa penembakan yang mengakibatkan setidaknya 7 warga sipil, satu jurnalis meninggal dan 10 orang 4 mengalami luka kritis, termasuk warga negara asing Jerman Dietman Pieper (29/05). Namun hampir semua korban ditembak di tempat yang mematikan, seperti di bagian kepala, dada, leher, wajah dan punggung tembus ke dada. Selain itu, pelaku juga menyasar korban secara acak, termasuk TNI dan Polisi.

Beberapa kasus ham diatas adalah sepenuhnya tindakan aparat militer dan juga polisi Indonesia terhadap rakyat sipil di Papua. Kematian Pak Thedorus Hiyo Eluay pada 10 November 2001 adalah murni tindakan aparat negara termasuk penghilangan sopirnya yang bernama Aristoteles Masoka. Dan pada 8 Desember 2014 4 (empat) orang siswa SMA di tembak mati oleh aparat militer. Yang hingga kini kasus tersebut telah dilupakan oleh otoritas negara kolonial (Indonesia).

C. Kasus Pengibaran Bendera Yalengga (2010)
Pada tanggal 20 November 2010, setidaknya ada 6 laki-laki yang ditahan ketika mereka sedang menuju sebuah pemakaman di desa Piramis di dekat Distrik Bokondini di Kabupaten Tolikara. Korban dilaporkan jatuh sakit setelah disiksa oleh polisi beberapa bulan sebelumnya dan akhirnya meninggal dunia. Meki Elosak, Wiki Meaga, Obeth Kosay, Oskar Hilago, Meki Tabuni, Wombi Tabuni, Pastor Ali Jikwa dan Peres Tabuni disiksa ketika ditahan karena dilaporkan memiliki bendera Bintang Kejora. Pada bulan April 2014, bukti foto terkait perlakuan merendahkan martabat terhadap 6 orang ini disebarkan di media sosial.

Foto yang telah diverifikasi oleh Meki Elosak selama wawancara dengan LSM berbasis di Jayapura, ALDP, menunjukkan para pria terbaring di sebuah selokan. Elosak menjelaskan bahwa mereka dipaksa untuk berguling berkali-kali di selokan berlumpur yang cukup luas oleh polisi dari distrik Bolakme di provinsi Jayawijaya. Dia bersaksi bawa petugas polisi menggunakan moncong senjata untuk mematahkan hidungnya ketika dia terbaring di selokan. Dia juga menyatakan bahwa beberapa petugas polisi merekam seluruh kejadian dengan telepon genggam mereka. Enam orang tersebut dihukum 6 tahun penjara karena tuduhan makar. Meki Elosak dan Wiki Meaga masih berada di balik tahanan di penjara Wamen.

D. Kasus Penyerangan Gudang Amunisi Wamena (2003)
Pada tanggal 4 April 2003, sekelompok orang menyerang Komando Distrik Militer Wamena dan membobol gudang senjata dan amunisi. Tidak lama kemudian, pihak militer merespon secara brutal dengan mengadakan operasi penyisiran di sebuah desa di Wamena. Terdapat 9 orang yang dilaporkan meninggal, 11 orang ditahan dan 38 disiksa. Selama dalam tahanan, Apotnalogik Lokobal diborgol dan ditendang hingga tak sadarkan diri oleh dan Assa Alua. Tiga anggota KNPB (Komite Nasional Papua Barat) sedang dalam perjalanan pulang setelah bertemu dengan anggota DPRD Papua ketika mereka dihentikan dan digeledah oleh polisi yang menemukan belati dari tulang Kasuari (sebuah senjata tradisional Papua) di dalam tasnya. Berdasarkan wawancara dengan Wandikbo, dia telah membeli sebuah belati di pasar Sentani untuk dikirimkan ke orang tuanya di Wamena agar dapat digunakan untuk perabotan rumah tangga.

Ketika diinterogasi, polisi menuduhnya telah membunuh seorang pengemudi taksi di Wamena sebulan sebelumnya. Untuk mendapatkan pengakuan ini, tangan dan kaki Wandikbo dihantam, bajunya dilucuti dan alat kelaminnya ditusuk berkali-kali dengan ujung gagang sapu. Tanpa kehadiran pengacara selama interogasi, Wandikbo dipaksa menandatangai sebuah Berita Acara Pemeriksaan Polisi, diancam akan dibunuh jika dia menolak. Terlepas dari alibi yang dia miliki, Wandikbo ditahan 8 tahun penjara karena tuduhan membunuh berdasarkan Ayat 340 dan 56 KUHP dan Undang-Undang 9/1981. Dia masih berada dalam tahanan di penjara Abepura.

F. Pelanggaran HAM Berat Wasior
Peristiwa Wasior Berdarah merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia selama kurun waktu April - Oktober 2001 di Wasior. Kasus pelanggaran HAM Wasior berawal dari masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas oleh perusahan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Masyarakat menuntut ganti rugi kepada perusahan atas tanah adat termasuk kayu-kayu mereka yang dikuasai PT Dharma Mukti Persada. Tuntutan masyarakat tidak dipedulikan oleh pihak perusahaan yang di backup oleh anggota Brimob1. Kemudian sekelompok orang bersenjata melakukan penyerangan terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini lima orang anggota Brimob tewas dan satu orang warga sipil. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan disekitar Wasior,2 dengan dukungan Kodam XVII Trikora3 melakukan " Operasi Tuntas Matoa".

Operasi ini menyebabkan korban dikalangan masyarakat sipil. Berdasarkan laporan Komnas HAM telah terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk : 1. Pembunuhan ( 4 kasus) ; 2. Penyiksaan ( 39 Kasus ) termasuk menimbulkan kematian ( Dead in custody); 3. Pemerkosaan ( 1 kasus); dan 5. Penghilangan secara paksa ( 5 Kasus); 6. Terjadi pengungsian secara paksa yang menimbulkan kematian dan penyakit; serta 7. Kehilangan dan pengrusakan harta milik.4 Karena pada saat operasi tersebut terdapat 51 rumah yang dibakar beserta harta benda di 8 lokasi yang berbeda (Wasior Kota, Kampung Wondamawi, Kampung Wondiboi, Kampung Cenderawol, di Sanoba. Operasi tersebut juga memakan korban secara meluas ke beberapa daerah luar teluk Wondama seperti Yopanggar bagian utara teluk wondama, wilayah kepulauan Roon, Kecamatan Windesi, kecamatan Ransiki, Bintuni, kota Manokwari dan Nabire.


G. Biak Berdarah
tanggal 6 Juli, rona histori pahit pun muncul dalam ingatan. Di Kota iIak, dikaki Tower (yang berada ditengah2 kota), 6 Juli 1998 terjadi pembantaian kemanusiaan; Memerkosa Ibu-ibu dan perempuan mudah lalu dibunuh; penculikan paksa terhadap masyarakat Papua, bahkan sebagian mayat ditemukan di tepian pesisir pantai PNG--Hingga Bapak Filep Jees Karma menjalani Hukuman Penjarah selama 15 Tahun. Dalam kasus Biak berdarah ini jumlah korban masyarakat sipil mencapai ratusan orang.

Dari segala jenis HAM yang dialami oleh rakyat Papua yang mulai dari tahun 60an hingga saat ini 2019 kasus HAM tersebut sudah mencapi ribuan kasus. Karena itu, dengan banyaknya kasus ham tersebut sehingga otoritas negara kolonial Indonesia tak sanggup pula dalam menyelesaikan kasus-kasus ham berat Papua tersebut. Sebenarnya negara sanggup dalam menyelesaikan kasus ham Papua yang beribu-ribu tersebut karen konstitusi negara menghendakinya dan menjaminnya pula. Namun, oleh karena negara sendiri tiada pula ber-kehendak untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus ham Papua tersebut.

Impunitas Masi Berlaku Di Indonesia
Teranglah sudah bahwa yang namanya pemerintahan kolonial Indonesia tak akan pernah memperhatikan dan menghargai hak asasi manusi Papua, harkat manusia Papua yang dipandang rendah oleh Indonesia dan sebagainya. Dengan ini, yang dimaksud dengan impunitas adalah di mana pelaku pelanggaran HAM terhadap suatu kelompok etnik, ras ataupun kelompok masyarakat tertentu yang dikorbankan oleh pelaku tindak kejahatan di berikan kebebasan tanpa diadili melalui mekanisme hukum yang berlaku atas tindakannya tersebut. Sehingga, pelaku pelanggaran HAM Papua sejak pada tahun 60an sampai dengan saat ini senantiasa diberikan hak impunitas oleh negara terhadap mereka para pelaku tindak kejahatan kemanusiaan tersebut.

Bahkan lebih parahnya lagi otoritas negara memberikan penghargaan (kenaikan pangkat) kepada mereka, karena telah melakukan tugas negara yang mana tugas negara tersebut bentuk kegiatannya/tugasnya adalah membunuh manusia Papua yang tak berdosa tersebut. Jadi ada pepata orang-orang Papua yang dikhususkan bagi pihak aparat Militer maupun polri dan sejenisnya adalah “Jika ingin mendapatkan jabatan yang tinggi serta elektabilitas yang tinggi makan anda harus pula datang ke Papua dan membunuh satu orang Papua barulah pangkat anda akan meningkat”. Begitulah pepatah yang sering disebut oleh rakyat Papua yang sekian lamah telah menjadi objek pemusnahan etnis melanesia (Papua) itu sendiri.



Sumber Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia.
PAPUA: Wilayah tak Berhukum.
Catatan Kekerasan di Papua Januari-Juni 2012 (Komnas HAM).
Penyiksaan di Papua; Kekerasan yang terus berlanjut.
Press Rilis; Pelanggaran HAM Berat Wasior : 17 Tahun Mencari Keadilan

Sabtu, 09 Maret 2019

Ko Bilang Krisis Kemanusiaan Itu Sudah Tidak Ada ?


KO BILANG KRISIS KEMANUSIAAN ITU SUDAH TIDAK ADA ? KO SALAH, BARANG ITU LAGI HIDUP SEHAT DI TANAH PALESTINA DAN TANAH PAPUA SANA

                  Oleh: A. Meaga

            Memang semua persoalan kemanusiaan yang sedang menimpa saudara kita di sana (Palestina) itu adalah suatu persoalan kemanusiaan yang amat sangat tidak manusiawi yang mana sedang menimpa mereka diatas tanah mereka sendiri. Kita tahu bahwa, yang namanya konfrontasi antara kedua belah pihak (bangsa) yang berbeda akan menelan korban yang cukup tinggi, dan kita tahu bahwa hukum-hukum internasional macam PBB tak menghendaki konflik semacam ini di muka bumi.

            Akan tetapi hingga saat ini, intervensi dari lembaga-lembaga hukum internasional macam PBB dan sejenisnya tak ada yang mampu memberhentikan kemapanan militer Israel dalam melancarkan penyerangannya terhadap bangsa Palestina tersebut. Ya, paling tidak kita telah mengetahui sedikit siapa dibelakang Israel, adalah tidak lain ialah pemerintah AS dan sekutunya (Uni Eropa).

            Sedangkan negara Indonesia, hanya jago dalam mengkritik tanpa tindakan (mungkin), ada juga bantuan kemanusiaannya untuk Palestina tersebut. Yang mana bantuannya lebih pada finansial dan lain-lain. Akan tetapi peran daripada militer Indonesia sendiri paling tak ada kontribusinya dalam membantu militer Palestina/atau pemerintah Palestina seperti negara Uni Sovet (Rusia) yang eksis membantu pemerintah Palestina.

            Karena itu, jika Indonesia memang berambisi untuk membantu saudaranya disana (Palestina), boleh saja dan itu adalah kewajiban negara Indonesia sebagai negara yang notabenenya adalah negara yang tak menghendaki kekerasan kemanusiaan yang sedang dialami oleh saudaranya disana itu. Namun, yang menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan oleh negara Indonesia sendiri adalah bahwa, dia masih belum bereskan beribu-ribu persoalan dalam negaranya, dan masyarakat sosialnya yang sedang hidup dalam keadaan instabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, agama dan lain sebagainya. Itu yang di satu sisi negara juga bisa dikatakan belum efektif dan ekonomis dalam mengatasi segala jenis problem sosial yang sedang terjadi di negri ini.

            Jika problem dalam negri saja belum bisa ditangani dengan jujur, dan berkeadilan maka, bagaimana mungkin bisa menyelesaikan masalah negara lain yang memang benar-benar dia (Negara Indonesia) tersebut tak begitu memahami keadaan sosial politiknya secara kapabilitas di negara bangsa lain tersebut. Hal ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. “(Ini adalah kekurangan pemerintahan negara bangsa ini, dan memang akan terus seperti itu adanya jika pemerintahan bangsa ini masih dipenuhi dengan praktik KKN absolut yang oleh kaum oligarkis dan kroni-kroninya)”.

            Kita lihat saja apa yang sedang terjadi di Papua itu bahwa, Papua tak ada bedahnya dengan Palestina. Jika palestina krisis kemanusiaanya tetap berlangsung eksistensinya maka, Papua pun demikian adanya. Yang namanya krisis kemanusiaan di Papua itu telah berlangsung sejak pada 03, Mei, 1963 (Awal integrasi Papua) hingga saat ini. Namun pada kenyataannya, pemerintah Indonesia telah menutupi segala-galanya tentang Papua sejak integrasi tersebut berlangsung.

            Apapun yang diaspirasikan oleh bangsa Papua Barat adalah bukan masalah makan dan minum sehari-hari diatas tanahnya sendiri. Apa yang sedang diperjuangkan oleh rakyat Papua Barat adalah mendesak pemerintah kolonial (Indonesia) untuk segera melepaskan bangsa Papua Barat dalam menentukan nasipnya sendiri, dan pemerintah harus pulah mengakui legalitas daripada telah dideklarasikan nya kemerdekaan bangsa Papua Barat pada 01, Desember, 1961 tersebut di (Holandia West Papua), saat ini Jayapura Papua.

            Saat ini, Indonesia melalui militernya senantiasa menindas, memperkosa dan mematikan orang-orang Papua di Papua sana. Dan saat ini pula, militer Israel sedang menindas, memperkosa, dan mematikan orang-orang Palestina di Palestina sana. Oleh karena itu, kedua bangsa ini (Indonesia dan Israel) secara kolektif mempertahankan krisis kemanusiaan itu tetap berlangsung. Dan asumsi mereka adalah bahwa, tindakan mereka adalah demi kedaulatan negara, keamanan negara, kenyamanan negara dan kepentingan negara dalam hal ekonomi, politik, sosial budaya, agama, ideologi dll. Demi itu semua maka, manusia Palestina dan manusia Papua menjadi tak ada nilainya sama sekali. Oleh karena inilah yang menyebabkan bangsa Papua itu semakin terancam punah ras melanesia Papuanya diatas tanah dan negri leluhurnya sendiri.

            Jika sa deng ko (kawan) diam saja dan tetap mengambil sikap apatis absolut maka, bisa sa pastikan kalo ko deng sa tidak akan hidup dalam jangka waktu yang cukup panjang. Apalagi ko pu anak cucu kedepan. Ko harus ingat kamrat almarhum “MUSA MAKO TABUNI” pu kata-kata saat dia berorasi politik, dia bilang begini “Kita harus pastikan apakah kita punya anak cucu kedepan akan hidup baik atau tidak diatas dia punya tanah dan negri leluhur Papua ini sendiri, kalo pada hakikatnya kita masih tetap eksis dijajah oleh bangsa binatang ini”. “(Bangsa Binatang yang dimaksut oleh kawan “MAKO” adalah pemerintah kolonialisme Indonesia)”.

            BEGITU KAWAN HORAMT. Nasip rakyat bangsa PAPUA BARAT ke depan ada di ko pu tangan dan ko pu otak yang cerdas itu, untuk bagaimana ko bebaskan ko pu bangsa yang kian lama kian punah dan suram (kabur/tidak jelas) masa depan hidupnya nanti dalam rentang ruang dan waktu mendatang.

            Sekarang ko tau berapa total populasi orang pribumi Papua itu saat ini ? Kalo ko tau sukur, kalo ko tidak tau itu berbahaya. Sebab, populasi orang Papua sampai saat ini masih abtrak keberadaannya, bahkan negara sendiri tak memiliki data sensus penduduk antara orang Papua pribumi dan orang pendatang (transmigran) yang ada di Papua. Mungkin saja ada datanya, namun ditutupi oleh negara sendiri, mungkin data tersebut akan dimanfaatkan oleh kepentingan negara nantinya kedepan.

            Dan pemerintah Papua tetap saja senantiasa diperbudaki oleh jabatan yang diimpor oleh pemerintah kolonial (Indonesia) ke Papua, untuk bagaimana mengalihkan otak kecil mereka (pemerintah Papua) tersebut yang susah berpikir objektif dan rasional tentang kepentingan/nasip rakyat Papua Barat. Dan ini adalah hakikat daripada sistem pemerintah Papua dan kaum oligarkis lokal Papua yang ada dalam sistemnya kolonial itu sendiri.

            *(Pemerintahan Papua itu, ibaratnya adalah sebagian dari pada asupan gizi yang selalu menyehatkan kesehatan kolonial dalam menjajah bangsa Papua Barat itu sendiri).

Hasil gambar untuk Free Palestine Papua Barat

Senin, 21 Januari 2019

Ambisi Pemerintah Indonesia Atas Bangsa Papua Barat ?


AMBISI PEMERINTAH INDONESIA DALAM MEMATAHKAN GERAKAN PEMBEBASAN NASIONAL PAPUA BARAT

Oleh: A Meaga

Ambisi pemerintah Indonesia (kolonial) dalam mematahkan atau memberhentikan gerakan perjuangan politik Papua Merdeka adalah dengan cara menciptakan fluktuasi fobia terhadap rakyat Papua Barat, mekanismenya adalah dengan pendekatan militer, mempropagandakan informasi yang tidak sesuai dengan fakta objektif di lapangan (disinformasi), mendistorsikan informasi fundamental terkait perkembangan perjuangan politik Papua Merdeka terhadap publik nasional dan internasional, menutup akses secara penuh oleh otoritas negara terhadap jurnalis nsional dan internasional untuk meliput di Papua Barat, dan satu hal yang lebih membahayakan bagi generasi bangsa Papua Barat adalah bahwa, selama mereka menempuh proses belajar dalam sistem pendidikan, mereka akan di ajarkan tentang sejarah yang salah dan itu adalah pembodohan generasi bangsa Papua Barat. Akan tetapi, eksistensi bangsa Papua Barat dalam meng-implementasikan perjuangan pembebasan nasional Papua Barat tak pernah berhenti sejak pada tahun 60an hingga saat ini. Ya, pendidikan kolonial tujuannya adalah untuk menanamkan nasionalisme kolonial Indonesia, dan menghapuskan sejarah kelam bangsa Papua yang penuh dengan cacat hukum dan moral, serta penuh dengan mekanisme kongkalingkong.

Berbagai macam cara dan metode ataupun strategi negara dalam menghentikan atau memangkas eksistensi bangsa Papua Barat dalam memperjuangkan Hak Menentukan Nasip Sendiri sebagai solusi demokratis bagi bagsa Papua Barat tak pernah ada keberhasilannya, yang ada adalah kegagalan negara dalam menghentikan gerakan Papua Merdeka. Solusinya adalah satu bahwa, Indonesia harus membiarkan bangsa Papua Barat menentukan nasipnya sendiri dan mengakui kembali kemerdekaan yang telah di deklarasikan pada 1, Desember, 1961 tersebut oleh bangsa Papua Barat.

Bangsa Papua Barat telah memahami dan telah menyadari pula semua manipulasi sejarah Papua Barat yang implementasi utamanya adalah negar-negara imperialisme (Amerika Serikat dan Belanda) yang penuh dengan kongkalikong dan di bawah tekanan militarisme kolonial Indonesia, adapun beberapa catatan tanggal dan tahun penting narasi historis bagsa Papua Barat yang mana telah di manipulasi secara penuh diantaranya yakni: 1). pada 19, Dsesember 1961 (Perintah Trikora/awal mula penjajahan atas Papua Barat di mulai), 2). pada 15, Agustus, 1962, perjanjian New York/New York Agrement, 3). Pada 30, September, 1962, Perjanjian Roma, 4). Pada 1, Mei, 1963, Integrasi Papua Barat masuk ke Indonesia, 5). Pada 7, April, 1967, Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia, 6). Pada 2 Agustus 1969 Proses pelaksanaan penentuan pendapat rakyat, yang selanjutnya disingkat dengan PEPERA.

Oleh sebab itu, dari beberapa narasi historis atas Bangsa Papua Barat yang telah di laksanakan tersebut adalah tanpa keterlibataan rakyat Bangsa Papua Barat, yang mana seharusnya rakyat bangsa Papua Barat tersebut adalah prioritas utama yang harus tampil dalam mengurus nasipnya tersebut secara penuh. Namun semua itu telah diatur oleh negara-negara Imperialisme dan kolonialisme sesuai dengan kepentingan masing-masing dalam hal politik, ekonomi dan ideologi.

Sehingga teranglah sudah bahwa, pemerintah Indonesia bukanlah penyelamat bagi bangsa Papua Barat, sebab pemerintah Indonesia adalah kolonialisme yang sedang mengkoloni bangsa Papua Barat bersama kroninya imperialisme dengan hegemoni militarisme kolonialisme. Kita bangsa Papua Barat tak memiliki harapan hidup yang baik selagi masih hidup berdampingan dengan bangsa penjajah kolonial Indonesia.

*Salam Pembebasan Nasional Papua Barat!






Minggu, 20 Januari 2019

Implementasi Entitas Politik Partikularisme Di Papua

Politik Model Partikularisme Juga Adalah Budaya Penguasa Elit Papua dan Juga Agen Intelektual Papua (Mahasiswa)

Oleh: Arnold Ev. Meaga

Pengertian Partikularisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan definisi partikularisme sebagai sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum; aliran politik, ekonomi, kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok khusus. Partikularisme pada dasarnya menganut paham yang cenderung mengutamakan atau mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Partikularisme memiliki kemungkinan menjadi sumber konflik karena cenderung mementingkan kehendak kepentingan pribadi atau kelompok sendiri daripada kepentingan umum atau publik.

Implementasi Politik Partikularisme Di Papua
Komunitas elit politik yang terdiri dari berbagai kalangan di Papua sibuk memikirkan ambisinya dalam mengejar hasratnya untuk tujuan tunggal yang adalah tidak lain yakni  Jabatan pada posisi sistem birokrasi. Dan untuk mendapatkan itu ia (elit politik) tersebut haruslah cerdas dalam mengagitasikan visi dan misinya kepada masyarakat (objek) dengan mekanisme tipu muslihat, dan politik uang bila perlu. Sebab, metode tipu muslihat dan politik uang ini pada umunya telah menjadi budaya dalam pergolakan politik di Indonesia pada umumnya, dan khususnya di Papua, bahkan untuk Papua sendiri sangat para jalannya dinamika politik “(saya menyebutnya politik darah)”. Elit politik di Papua sibuk mengurus posisi jabatannya, ia tiada pula memikirkan manusia Papua yang sedang dibunuh dan ditindas diluar sana oleh militer Indonesia dan sejenisnya.

Para bupati dan pejabat di wilaya Lapago, Mepago, Anim ha dan lain sebagainya, hampir sebagian besar memimpin daerahnya dengan gaya ala sistem pemerintahan pada zaman feodal. Yang mana budaya (kultur) nepotisme dan hedonisme telah menjadi hukum tetap dalam tatanan sistem feodalisme tersebut. Karen praktiknya nyata sekali untuk wilayah Indonesia bagian timur itu (Papua Barat), juga Indonesia. Karena itu, dalam mewujudkan pembagunan infrastruktur ataupun suprastruktur provinsi hingga kabupaten, juga sumber daya manusia Papua (SDM-P), menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Papua, kedamaian dan lain-lain tiada pula efektif jalanya. Padahal jumlah danah Otsus Papua tersebut bukanlah sedikit, tetapi memang pada dasarnya sejumlah danah yang besar tersebut hanya masuk pada segelintir kantong penguasa elit Papua dan pengusaha-pengusaha non-Pribumi yang ada di Papua.

Para agen intelektual pun sama saja wataknya, setelah pensiun (lulus) dari sistem pendidikan dan balik ke tempatnya (Papua Barat), akan pula terlibat dalam politik praktis dan sejenisnya. Ia (agen Intelektual) tersebut tak pernah berpikir akan hal-hal yang berkaitan dengan inovasi dalam hal menciptakan sistem produksi yang baru bersama-sama dengan rakyat dan lain-lain. Oleh sebab itulah, eskalasi pengangguran yang mulai dari S-1 dan S-2 tetap berada dalam keadaan nganggur diatas tanah dan negrinya sendiri. Kemiskinan dan kelaparan pun timbul salah satu faktornya adalah tingkat pengangguran yang cukup signifikan pula dari sisi kuantitasnya. Sebab, semua kalangan komunitas politik dan juga para agen intelektual dalam berpolitik semua menggunakan sistem politik ala model partikularisme. Sehingga, masyarakan Papua adalah sasaran (Objek) yang menjadi korban daripada praktik politik tidak sehat tersebut, karena memang para elit politik Papua tidak berpolitik secara profesionalisme dalam berpolitik. Sebab, secara kuantitas banyak orang Papua yang sok tahu dalam berpolitik, tetapi secara kualitatif ia belum dewasa dan belum pula memahami dan menguasai esensi daripada pengetahuan politik itu sendiri secara  kapabilitas absolut.

Dengan demikian, yang sangat esensial daripada politik itu adalah bahwa, manusia berpolitik tidak untuk sesuatu yang bakalan menciptakan kondisi dan situasi lingkungan sosial yang penuh dengan kontradiktif antar kelas sosial dan kedestruktifan, politik adalah seni dalam mengatur kehidupan masyarakat sosial pada suatu negara untuk hidup dalam menjalani kehidupan ber-ekonomi, ber-budaya dalam hubungan relasi antara komunitas masyarakat di daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam suatu negara bangsa tanpa kekacauan ataupun konflik kesukuan, ke-agamaan dan lain-lain.



Sumber Reperensi:
http://blog.unnes.ac.id/aenunanisastuti/2017/09/18/materi-pembelajaran-partikularisme-kelompok-dan-dilema-pembentukan-kepentingan-publik/


Senin, 26 November 2018

Intelektualitas Orang Papua Telah Gagal Sebagian


INTELETUALITAS ORANG PAPUA TELAH GAGAL SEBAGIAN

  Oleh: Arnold Ev. Meaga


Etimologi Intelektual

Etimologi intelektual berasal dari bahasa latin interlego atau intelego yang bermakna “aku membaca diantaranya” atau “aku masi uraikan”. Berdasarkan kamus lengkap indonesia yang dimaksud dengan intelektual adalah orang yang mempunyai kecerdasan tinggi (cendikiawan) dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Krel Ernes George mendefinisikan intelektual sebagai orang yang dalam dan intens memikirkan atau menghayati segala sesuatu. Oxford advanced leamer’ distionary memberikan batasan bahwa intelektual adalah orang-orang yang mempunyai atau menunjukan kemampuan nalar yang baik, tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan pikiran seperti kesenian atau ide-ide itu sendiri, mempunyai kemampuan untuk sunggu-sunggu berpikir bebas. Menurut Paul Baran, seorang intelektual pada azasnya adalah seorang pengeritik masyarakat, seseorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, manganalisis dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan-rintangan jalan yang menghambat tercapainya susunan-susunan masyarakat yang lebih baik, lebih berperikemanusiaan dan lebih rasional.


Sekolah Yang Di Agungkan Oleh Umat Manusia

Ya, sekolah, ternyata memang bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik sebagai pewarisan nilai-nilai, dan akhirnya memang cuma akan menjadi sekedar alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui,  tentu saja, oleh siapa yang berkuasa menentukan apakah nilai-nilai resmi yang mesti berlaku dan direstui, untuk menentukan apakah nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui saat itu dan saat ini.

            Sekolah dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius, misalnya, nation and character building, nilai-nilai resmi itu wajip diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula. Maka, lihatlah; setelah semua anak sekolah diwajipkan berpakaian seragam, menyusul pula kewajiban-kewajiban berseragam lainnya, nyaris dalam segala hal. Dan, itulah yang lebih membuat saya pusing tujuh keliling: pakaian seragam, mata pelajaran seragam, bahasa dan cara bicara seragam, tingkah laku seragam dan, lama kelamaan, wajip seragam pula isi kepala dan isi hati mereka.

         Manusia pada umumnya, sibuk mencari dan menafsirkan segala sesuatu tentang alam raya yang masi belum terpecahkan (ontologi), yang lainnya lagi sibuk melukiskan sesuatu oleh seorang subjek kepada mereka objek tentang hakikat ilmu pengetahuan (epistemologi), sedangkan manusia yang lainnya sibuk menilai hakikat daripada nilai-nilai fundamnental ilmu pengetahuan yang di agung-agungkan oleh umat manusia tersebut (aksiologi). Sebab, apa yang di kritisi oleh kelompok/golongan manusia terhadap segala jenis disiplin ilmu pengetahuan yang ada mereka tak hanya sekedar mengkritisi tanpa bukti konkrit yang ilmia, mereka mengkritisi segala macam disiplin ilmu atas dasar bukti dan data yang konkrit. Oleh sebab itu, pada dasarnya ilmu pengetahuan turut memberikan kontribusi dalam melahirkan segalah macam jenis persoalan sosial yang berfitra dualisme absolut.


Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kuantitatif

Banyak orang-orang Papua yang telah mendapatkan pendidikan yang layak sejak orang-orang Papua tersebut mulai di integrasikan ke dalam bingkai negara kesatuan Repilik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963. Pendidikan yang layak pun di implementasikan oleh pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya untuk mencerdaskan orang-orang Papua, akan tetapi sebaliknya membodohi orang-orang Papua dengan mekanisme pembelajaran yang di ajarkan oleh mereka yang mengajarkan (Guru), kepada mereka yang sedang diajarkan (murid) tersebut.

          Sekarang, jumlah sumber daya orang-orang Papua sudah lebih dari cukup. Dapat kita liaht dalam satu tahun berapa jumlah para sarjanah dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu Sosial, Ilmu Bisnis, Ilmu Teknik, Ilmu hubungan Internasional dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang di dapatkan oleh orang-orang Papua itu sendiri dari masing-masing propinsi dan kabupaten-kabupaten yang ada di seluruh tanah Papua. Karenanya, implikasinya adalah sumber daya manusia Papua dari perpektif kuantitatif sudah lebih dari cukup untuk mengubah tatanan sosial yang timpang. Yang mana tatanan mapan yang destruktif tersebut adalah problem sosial yang harus dikonservasikan oleh agen-agen intelektual asal Papua itu sendiri demi tercapainya kehidupan sosial yang harmonis dan damai diatas tanah Papua bagi umat Tuhan seluruhnya.

         Kesejahteraan, kedamaian dan keharmonisan relasi sosial antara orang-orang di suatu tempat dengan tempat lainnya dapat terlaksana sebagaimana mestinya tergantung jumlah volume sumber daya manusia (SDM), dalam mengkontribusikan idealismenya dalam mengubah suatu tatanan sosial destruktif yang telah mapan. Dalam implementasi, mekanismenya dapat di lakukan dengan berbagai macam metode, bisa juga melalui sistem, bisa juga melalui usaha atau membuka lapangan kerja atas dasar prinsip kolektif, bersosialisasi dll.


Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kualitatif

Barusan telah kita lihat sedikit secara seksama bahwa jumlah sumber daya manusia Papua (SDM-P) sudah sangat cukup. Lalu yang menjadi pertanyaan pokok adalah, apakah dari sekian banyak jumlah volume sumber daya manusia Papua tersebut dari perspektif kualitatif sudah cukup ?

            Dapat kita lihat bahwa, yang saat ini sedang terjadi adalah orang-orang Papua lebih banyak menganyam pendidikan hanya untuk menggapi gelar semata. Esensinya adalah gelar tersebut hanyalah sekedar gelar, gelar tak akan memberikan kontribusi kualitas intelektualitas. Gelar hanyalah sebuah tambahan huruf yang menunjukan kemampuan seseorang pada suatu bidang disiplin ilmu yang sudah seseorang  gapai, yang hakikatnya adalah gelar tersebut hanya menunjukan bahwa kebenaran intelektualitas seseorang itu sendiri. Akan tetapi intelektualitas tersebut tak dapat dibuktikan secara nyata di lapangan.

      Sehingga sumber daya manusia Papua yang beribu-ribu tersebut dari perspektif kuantitatif sudah lebih dari cukup, akan tetapi dari perspektif kualitatif masi belum dari cukup pula. Oleh karena itu, dalam menimbah ilmu dalam berbagai disiplin ilmu yang diperlukan dan yang harus dipenuhi oleh seorang calon intelektualitas adalah penguasaan ilmu tersebut secara kapabilitas, yang pada akhirnya akan terlihat kualitatif dari seorang intelektualitas itu sendiri.


Pengaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Pergolakan antara kaum intelektual asal Papua di atas tanah Papua adalah pergolakan “darah” melalui instrumen politik praktis, politik identitas, politik oportunis dan yang lain-lain. Sebab, apa yang diperjuangkan oleh kaum intelektual bukan untuk memperjuangkan nasip kelompok masyarakat Papua. Intelektualitas hanya dipergunakan sebagai instrumen untuk kembali mengeksploitasi dan menindas masyarakat Papua yang akhirnya akan pula terjadi konflik antar kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Intelektualitas orang-orang Papua yang telah didapatkan melalui lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah Indonesia, dalam mengaplikasikan nya di lapangan, sudah tidak sesuai pula dengan kompotensi yang ia miliki.

        Karena memang, saat ini orang-orang Papua yang berintelektual lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri beserta kelompoknya. Semuanya ikut serta dalam pergolakan politik yang tidak sehat, pergolakan politik yang mengorbankan masyarakat, pergolakan politik yang mengatasnamakan masyarakat dan pergolakan politik yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga, serta memperpanjang penderitaan bagi masyarakat Papua. Esensi daripada kaum intelektual yang dalam hal ini pernah menjabat sebagai pemimpin dalam jabatan pada level Gubernur, Bupati, DPR, DPRP, DPD, MRP, Camat dan lain-lain tak pernah memperhatikan nasip dan kesejahteraan masyarakat dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Apalagi memenuhi aspirasi masyarakat Papua. Yang ada saat ini adalah yang menindas dan membuat menderita masyarakat adalah kelompok kaum intelektual itu sendiri melalui sistem yang sedang mereka jalankan tersebut.

            Yang sekarang menjadi masalah fundamental bagi kaum intelektual Papua adalah, Orang yang berlatar belakang pendidikan dengan kompetensi ilmu Teknik dapat terlibat dalam pergolakan politik, yang seharusnya tidak dapat dilakukan olehnya karena memang berpolitik bukanlah kompentensinya. Demikian sebaliknya, orang yang berlatar belakang pendidikannya sebagai seorang politikus tak dapat mengerjakaan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan keteknikan, begitupun orang dengan latar belakang pendidikannya sebagai dokter tak dapat melaksanakan politik karena itu bukan sebagian dari bidangnya dan seterusnya dan seterusnya. Namun dari semua di atas, untuk wilayah Indonesia bagian timur itu (Papua) tak ada yang mustahil, semuanya dapat di laksanakan. Yang artinya, adalah jika satu orang Papua yang berlatar belakang pendidikannya adalah seorang sarjana politik, anggap saja semua hal tentang pengetahuan entah itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain telah di ketahui olehnya walaupun ia hanya seorang sarjana ilmu politik, namun tentang yang lainnya ia serba tau atau serba berpengetahuan.

            Hal serupa, adalah suatu hal yang membuat kaum intelektual asal Papua tersebut menjadi terpecah belah di atas tanah dan negri mereka sendiri, yang mana tanah dan bumi Papua itu sendiri lagi sedang berada dalam keadan menderita. Dan penderitaan tersebut adalah tantangan bagi kaum intelektual Papua untuk bagaimana mengkonservasikannya kembali layaknya semula. Egosentrisme intelektual, masi terprogram secara penuh pada jiwa rasional kaum intelektual Papua, dan hal itu adalah suatu penyakit kaum intelektual Papua yang susah untuk di sembukan secara bertahap. Karena penawar penyakit tersebut hanya ada pada seorang subjek yang berintelektual itu sendiri. Oleh karenanya, Pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua masih belum ada proggresnya dalam menjawab segalah macam permasalahan sosial yang sedang terjadi dan sedang di alami pula oleh masyarakat Papua secara keseluruhan.


Keberhasilan Dalam Pengaaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Dalam hal ini, saya tidak bisa berasumsi kalo sebagian besar kelompok intelektual asal Papua seluruhnya telah berhasil dalam membangun, membinah, mengarahkan, mendidik, mengajarkan, bahkan sampae dengan memanusiakan manusia Papua seluruhnya. Dan saya sebagai orang Papua menyadari bahwa sebagian besar dari seluruh jumlah orang-orang Papua tersebut bukanlah sebagian dari orang-orang yang berintelektual dan berpendidikan sepenuhnya.

       Akan tetapi, sudah dijelaskan di muka bahwa, secara kuantitatif jumlah kelompok orang-orang Papua yang berintelektual sangatlah cukup/sudah sangat cukup pula dibandingkan dengan kelompok orang-orang Papua yang berintelektual pada tahun 60-an. Sedangkan secara kualitatif intelektualitas orang-orang Papua masih belum sampai pada intelektualitas secara kapabilitas. Oleh sebab itu, dalam mengubah tatanan sosial yang destruktif yang mana sedang di alami oleh umat Tuhan di atas tanah Papua tersebut, akan sangat sulit pula. Sebab, yang selama ini dipelajari oleh orang-orang Papua pada khususnya, dan pada umumnya orang-orang Indonesia pada institusi pendidikan yang ada, adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya sedang dialami oleh bangsa Papua dan bangsa Indonesia ini sendiri. Generasi bangsa Indonesia dan Papua moralnya turut serta di hancurkan oleh institusi pendidikan yang sedang ditekuni oleh pelajar yang sedang diajarkan oleh mereka yang mengajarkan tersebut.

       Karenanya, keberhasilan kelompok orang-orang Papua yang berintelektual dalam melayani, mengayomi dan membebaskan seluruh masyarakat Papua dari keadaan kenyataan sosial yang timpang, dan ketidakadilan masih belum sepenuhnya terlaksana secara absolut. Hal ini, telah terlaksana sejak pada awal bangsa Papua di integrasi bersama bangsa Indonesai pada 1963 hingga saat ini. Ada trobosan-trobosan yang telah diimplementasikan oleh kelompok kaum intelektual asal Papua itu sendiri, dalam mengatasi segalah jenis perkara yang sedang timbul dan terjadi diatas tanah Papua tersebut dalam perpolitikan, perekonomian, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain. Namun, apa yang sedang dikerjakan tersebut yang oleh kaum intelektual tidak berjalan secara horizontal (lancar dan maju) akan tetapi semua usaha tersebut berjalan secara evolusioner. Karena pada dasarnya, egosentrisme intelektualitas masi terproggram dengan sangat rapi pada jiwa rasional kelompok kaum intelektual tersebut. Satu hal fundamental, yang hingga saat ini belum juga dilakukan oleh kelompok kaum intelektual Papua adalah belum adanya pemikiran untuk bersatu dalam satu wadah (organisasi) yang akan dipergunakan sebagai instrumen dalam menciptakan sistem produksi sosial ataupun perjuangan pembebasan hak-hak dasar rakyat Papua itu sendiri.

       Sehingga dengan ini, dapat saya asumsikan bahwa kelompok kaum intelektual asal Papua dalam pengaplikasian intelektualitasnya di lapangan tidak dapat dikatakan sangat proggresif. Akan tetapi, semua pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua dilapangan masih sedang berkembang dan sedang berjalan secara evolusioner, namun itu bukan berarti akan mengalami kegagalan. Sebab, semuanya akan menuai hasilnya dikemudian hari, dan sebuah keberhasilan pengaplikasian suatu intelektualitas adalah suatu perjuangan yang harus diperjuangkan secara fisik dan akal sehat seorang intelektual tersebut. Dan saya menyadari bahwa, apa yang sedang diperjuangkan oleh kelompok komunitas orang-orang intelektual asal Papua tersebut semakin proggresif saat ini, yang dimulai dari, tokoh-tokoh Agama, mahasiswa, tokoh-tokoh adat, serta mereka orang-orang yang berada dalam sistem birokrasi, rakyat sipil, dan lain-lain.

       Ada suatu trobosan yang baru-baru ini yang dibuat oleh kelompok agen intelektual Papua yang terdiri dari beberapa oraganisasi revolusioner yang telah bergabung menjadi satu-kesatuan dalam satu wadah yang dinamai oleh beberapa organ tersebut yang kita kenal dengan sebutan " Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua" yang selanjutnya disingkat dengan "SEPAHAM". Terbentuknya organ gerakan tersebut tidak terlepas dari bentuk-bentuk penindasan, pengeksploitasian SDA besar-pesaran, penghisapan dan lain-lain yang sedang maraknya diimplementasikan oleh penjajah kolonial dan imperialisme dibawah hegemoni militarisme atas bumi Papua dan manusia Papua tersebut. Sehingga, dengan melihat kondisi-kondisi ini, bahkan sudah adanya banyak gerakan-gekan mahasiswa Papua yang berfokus dengan berbagai isu, mulai dari isu hak penentuan nasib sendiri, hingga isu-isu sektoral, mulai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-Papua), serta Solidaritas Nasional, Mahasiswa, dan Pemuda Papua Barat (SONAMAPPA), telah melakukan konferensi bersama yang mana telah melahirkan sebuah gerakan persatuan yaitu Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham). Terbentuknya organ (SEPAHAM) pada  15 November 2018, kalao tidak salah. Jiak salah tanggalnya mohon untuk diklarifikasi melalui komentar anda. Terbentuknya wadah gerakan ini adalah suatu gagasan brilian dan sangat progresif yang pernah dibentuk dan dipikirkan oleh kelompok agen inteletual Papua yang ada. Dan hal tersebut adalah wujud daripada kemajuan rakyat bangsa Papua dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan militarisme yang sedang mempraktikan penjajahan atas bangsa Papua barat itu sendiri.


Kegagalan Dalam Pengaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Jika di tinjau lagi di lapangan secara langsung apakah para intelektualitas Papua tersebut sudah berhasil atau tidak dalam menjawab problem sosial secara menyeluruh atau tidak, maka dapat dikatakan tidak. Karena yang ada, adalah kehidupan masyarakat Papua saling berhadapan dengan ganasnya aparat TNI/POLRI  yang setiap saat melaksanakan tindakan persekusi terhadap masyarakat Papua. Yang oleh tindakan aparat negara tersebut telah banyak mendatangkan bencana pelanggaran HAM besar-besaran terhadap masyarakat Papua. Yang menjadi pertanyaan pokok adalah, kemana semua para sarjana hukum asal Papua itu ? Sampai dimanakah kerja-kerja mereka para sarjana hukum asal Papua itu, ketika terjadi pelanggaran HAM secara bertahap terhadap masyarakat Papua tersebut ? Beribu-ribu kasus HAM Papua yang tertumpuk, bagian kasus HAM mana yang oleh para sarjana hukum asal Papua tersebut sudah menyelesaikannya secara tuntas dan bertahap ? Hingga saat ini pelaku kasus pelanggaran HAM masi tetap diberikan hak impunitas oleh otoritas negara. Dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa, para sarjana hukum asal Papua belumlah evektif dalam mengerjakan apa yang menjadi bagiannya dan apa yang harus dikerjakan olehnya sebagaimana mestinya sesuai kompetensinya. Dan itu menjadi tantangan kedepan untuk bagaimana meluruskan barisan (Bersatu) bagi para sarjana hukum asal Papua tersebut untuk lebih proggresif dalam mengangkat isu kemanusiaan dan berbicara keadilan bagi mereka yang membutuhkan keadilan yang hakiki.

            Dan bagaimana dengan para sarjana Kesejahteraan Sosial asal Papua itu ? apakah mereka sudah sesuai melaksanakan tugas dan fungsinya di lapangan atau tidak ? dalam membimbing masyarakat Papua untuk hidup lebih baik tanpa konflik, tanpa kecemburuan sosial antara masyarakat Papua (Pribumi) dengan masyarakat pendatang (Non-Papua), dan bagaimana cara melakukan aktivitas sosial berdasarkan etika-etika sosial dan budaya. Dapat di katakan bahwa, para sarjana Kesejahteraan Sosial masih belum efektif dalam menjalankan tugasnya di lapangan secara nyata. Sehingga hal tersebut adalah telah gagalnya intelektualitas yang dimiliki oleh para sarjana tersebut. oleh karena itu, tantangan bagi para sarjana Kesejahteraan Sosial adalah bagaimana membinah, mendidik dan mensosialisasikan kepada masyarakat antara yang baik dan tidak baik, atau apa yang harus dilakukan oleh masyarakat dan yang tidak harus dilakukan oleh masyarakat tersebut secara bertahap pada setiap daerah yang harus di berikan arahan tentang hal-hal yang positif dan negatif bagi masyarakat Papua. Karena gagalnya pengaplikasian pengetahuan tersebut di lapangan sehingga masyarakat tersebut akan dengan mudah untuk di manipulasi atau di hasut oleh kelompok-kelompok tertentu.

          Contoh khasus yang baru saja terjadi adalah pemberian hibah 90 hektare tanah yang oleh kepala suku yang bernama “Alex Doga” anak dari kepala suku “Silo Sukarno Doga” kepada TNI-AD di Jayawijaya (Wamena) tepat pada 26, Sepetember, 2018. Beliao kepala suku “Silo Sukarno Doga” adalah salah satu kepala suku selain “Kurulu Mabel”, dan “Ukum Hearik Aso” yang mengambil peran penting dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakayat (PEPERA) 1969 pada saat itu. Singkatnya merekalah kelompok orang-orang yang berpengaruh yang hakikatnya pro terhadap pemerintah kolonial Indonesia. Dan yang sudah terjadi atas hal pemberian tanah tersebut adalah keberhasilan pihak aparat dalam mensosialisasi kan tujuan mereka sekaligus maghasut masyarakat yang didalamnya adalah kepalah suku sebagai objekenya. Jika para sarjana Kesejahteraan Sosial ataupun para Intelektual asal Papua lebih dulu telah memberikan pemahaman yang baik melalui sosialisasi terhadap masyarakat tersebut maka masyarakat tersebut tak akan mudah untuk di hasut ataupun di manipulasi dengan berbagai macam cara. Dan kejadian seperti hal diatas kemungkinan besar tak dapat terjadi pula.

        Sedangkan para sarjana ilmu Pemerintahan asal Papua yang jumlahnya sangat banyak itu, bagaimana dengan aktivitas mereka sehari-hari dalam menjalankan kerja-kerja mereka dalam sistem pemerintahan dan diluar dari sistem pemerintahan ? ada sebagian para sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua yang bekerja dalam sistem pemerintahan yang tiap-tiap saat mengatur tentang manajemen dan penegendalian sistem pemerintahan, namun sampai saat ini masih banyak pula pengangguran para sarjana asal Papua itu sendiri. Lalu akan bagaimana nasip para sarjana yang menganggur tersebut ? jika para sarjana asal Papua yang telah berada pada posisi aman dalam sistem pemerintahan tak bisa membuat sesuatu dan tetap saja ambil sikap apatis, serta tak mau membantu para sarjana asal Papua lainnya yang berstatus penganggur tersebut untuk mendapatkan hak mereka layaknya para sarjana lainnya, maka itu adalah suatu kegagalan para sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua tersebut. Dengan adanya keberadaan mereka dalam sistem pemerintahan tersebut sehingga kesempatan tersebut dapat di manfaatkan sebaik-baiknya untuk bagaimana orang-orang Papua di masukan sebanyak-banyaknya dalam sistem pemerintahan yang ada, sebab orang-orang Papua sudah harus di prioritaskan dalam sistem pemerintahan yang ada di atas tanah Papua. Akan tetapi, yang terjadi saat ini adalah sebagian besar para sarjana asal Papua terdiri dari pengangguran yang terbengkalai begitu saja. Dan hal demikian adalah kegagalan total orang-orang Papua yang berintelektual yang sedang beraktivitas dalam sistem pemerintahan yang ada.

          Lalu bagaimana dengan para Sarjana Kesehatan asal Papua yang saat ini dapat dikatakan sudah cukup pula jumlahnya. Apa yang sudah mereka kerjakan terhadap kesehatan masyarakat Papua ? yang hingga saat ini tingkat kematian yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit, kurangnya gizi/gizi buruk, kematian ibu dan anak meningkat di seluruh pelosok bumi Papua. Adakah hasil riset-riset ilmia secara langsung dilapangan terkait sebab, akibat atau asal-usul penyakit yang diderita oleh masayarakat Papua oleh para sarjana Kesehatan tersebut ? adakah solusi-solusi yang di tawarkan oleh para sarjana kesehatan tersebut kepada pemerintah Papua untuk di tindak lanjuti lebih lanjut ? terkait kesehatan masyarakat Papua itu sendiri.

           Kenyataanya kebanyakan para sarjana kesehatan asal Papua tersebut lebih memilih tempat-tempat yang terhormat, lebih memilih untuk di hargai martabatnya sebagai seorang dokter atau ahli kesehatan. Tidak ada yang memilih untuk melayani masyarakat yang ada di pedesaan, atau singkatnya masyarakat yang berada jauh dari jangkauan wilayah perkotaan dan sekitarnya. Sehingga hal tersebut ialah sebuah kegagalan yang harus diperhatikan dan di perbaiki pula oleh para sarjana kesehatan untuk bagaimana menjawab tantangan-tantangan kesehatan masyarakat Papua yang belum pula di selesaikan oleh para sarjana kesehatan terdahulu.

           Lalu bagaimana dengan para intelektualitas yang terdiri dari para guru asal Papua itu sendiri ? yang hingga kini, pada dasarnya penyakit kebodohan itu masi melekat pada semua generasi orang-orang Papua itu sendiri. Kebodohan yang masih diderita oleh semua orang-orang Papua tersebut tak pernah dipertanyakan oleh kelompok intelektual Papua yang ada. Mereka membiarkan kebodohan tersebut tetap menguasai generasi orang-orang Papua hingga kini. Oleh karenanya, apa yang telah dilakukan oleh para guru asal Papua itu ? Dalam mencerdaskan generasi orang-orang Papua. Yang ada, hanyalah para guru tersebut tidak pernah mengabdi dengan sungguh-sungguh dalam mendidik dan mencerdaskan generasi orang-orang Papua tersebut. Dan para guru asal Papua tersebut turut serta dalam memberikan kontribusi penyakit kebodohan kepada generasi orang-orang Papua, yang mana generasi orang-orang Papua tersebut senantiasa dididik, dibina, diajarkan dan diarahkan pikirannya pada hal-hal yang hakikatnya tak diketahui oleh para murid yang sedang menerima ilmu pengetahuan tersebut melalui para guru yang bukan pula orang asli Papua itu sendiri. Namun apa yang diajarkan oleh para guru migran tidak semuanya mengajarkan murid untuk bagaimana membodohi murid tersebut. Oleh karena itu, yang mempunyai peran penting dalam mencerdaskan suatu bangsa sepenuhnya ada pada peran guru yang selalu mengambil peran penting tanpa jasah. Jika para guru memiliki rasa patriotisme yang tinggi niscaya ia akan melakukan apa yang menjadi tugasnya sebagai seorang guru dalam mencerdaskan bangsanya dengan sungguh-sungguh, dan guru seperti ini memiliki target khusus dalam memdidik dan mencerdaskan suatu bangsa yang adalah sebagian daripada bangsanya sendiri.

            Dan bagaimana dengan para sarjana ekonomi yang jumlahnya tak kalah banyak itu ? Banyak orang-orang Papua yang terdiri dari sarjana ekonomi, tetapi yang menjadi pertanyaan pokok disini adalah, bagaimana kemiskinan itu masih tetap merajalela di seluruh pelosok bumi Papua tersebut ? Apakah ada riset-riset ilmia berdasarkan observasi langsung di lapangan yang berhubungan dengan penyebab kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi yang hingga kini masi tetap merengut orang-orang Papua tersebut ? yang hingga saat ini, tak ada suatu trobosan fundamental yang telah dilakukan oleh para sarjana ekonomi asal Papua tersebut untuk bagaimana bersama rakyat membuat suatu draf sistem produksi, ataupun membuat kegiatan-kegiatan dalam mendidik masyarakat untuk mengembangkan ekonomi mandiri bagi rakyat untuk bagaimana mereka bersaing secara akal sehat dalam hal ekonomi. Akan tetapi, karena hal serupa adalah sebagian daripada kegagalan para sarjana ekonomi asal Papua itu sendiri, namun bukan berarti semuanya telah gagal total, yang hingga kini, mungkin ada sebagian dari para sarjana ekonomi asal Papua tersebut sedang dalam proses perencanaan draf sistem produksi bersama rakyat. Untuk mengeluarkan rakyat dari ketimpangan ekonimi yang ada. Dalam hal ini, peran bagi para sarjana ekonomi adalah sangat fundamental, dan yang harus dilakukan oleh para sarjana ekonomi asal Papua adalah dengan cara membangun konstruksi persatuan antara para sarjana ekonomi itu sendiri. Setelahnya tinggal bagaimana mereka berpikir untuk menguasai ekonomi Papua secarah penuh. sehingga, dengan ini janganlah pelihara penyakit egosentrisme intelektualitas.

            Yang lebih jelasnya lagi, dari semua para agen Intelektual asal Papua dari berbagai disiplin ilmu yang ada saat ini, adalah belum dewasa dalam memandang realitas sosial yang sedang di alami oleh seluruh masyarakat Papua dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan dan lain-lain. Dan karenanya, belum dewasa pula dalam menjalankan kompetensinya secara langsung dilapangan, sehingga para agen intelektual tersebut tak dapat pula mengubah tatanan sosial yang mapan. Kiranya dapat di ulangi lagi perkataan awal adalah penyakit egosentrisme intelektualitas masi mengakar pada jiwa rasional manusia Papua. Oleh karena itu, intelektualitas tanpa praksis sama halnya dengan tak menghasilkan suatu perubahan, demikian sebaliknya, suatu perubahan tanpa praksis sama halnya dengan tak menghasilkan suatu perubanan pula. Perubahan membutuhkan persatuan dan solidaritas dari para agen intelektual, dalam menyusun draf stratak untuk mengubah tatanan sosial yang berfitra destruktif absolut. Maka, tugas daripada para intelektual Papua adalah bersatu dan segera membentuk konfigurasi komunitas dari setiap para sarjana yang ada dari berbagai didiplin ilmu. Dan masing-masing dapat jalan sesuai dengan fungsinya, yang artinya saling bergotong royong dalam implementasi aktivitas kemanusiaan dan sejenisnya bagi masyarakat Papua.


Sebab Dari Semua

Kurangnya peran dari para agen intelektual yang berasal dari orang-orang Papua itu sendiri, tentunya sangat membawa dampak yang cukup signifikan pada masyarakat Papua yang sebagian besar masih berada dalam keadaan tak sadar akan kenyataan sosial yang sedang dialami olehnya sendiri. Masyarakat Papua tak tau bahwa sebenarnya ia adalah objek yang dikendalikan, dikontrol ataupun diawasi atau, subjek yang mengontrol dan mengendalikan sektor-sektor fundamental macam politik, ekonomi dan lain-lain. Esensinya ialah, masyarakat Papua adalah objek yang telah diobjekkan oleh negara sentral (Jakarta). Sehingga masyarakat Papua maupun pemerintah Papua semuanya adalah objek yang senantiasa dipantau, diawasi, dikontrol, dan dikendalikan melalui mekanisme sistem yang di teruskan oleh jakarta terhadap Papua. Oleh sebab itu, dalam hal ini peran para agen intelektual sangat penting dan sangat mendesak pula dalam menyampaikan hakikat daripada kenyataan sosial saat ini kepada masyarakat Papua seluruhnya. Kenyataan yang destruktif yang mana sedang dialami oleh masyarakat Papua saat ini, faktor utamanya ada pada para kaum intelektual Papua itu sendiri. Jika para agen intelektual tetap mengambil bagian menjadi agen intelektual yang apatis, maka keadaan kehidupan masyarakat Papua tersebut akan tetap berada dalam keadaan hancur-hancuran seperti yang ada saat ini.


Akibat Dari Semua

Akibat dari semua sebab daripada keberhasilan dan juga kegagalan pengaplikasian intelektualitas yang oleh para agen intelektual dari Papua itu sendiri telah saya bicarakan panjang lebar diatas. Dan dampaknya pun sangat banyak dan berheterogen pula yang dialami oleh masyarakat Papua tersebut. Implikasinya adalah keberhasilan daripada pengaplikasian intelektualitas di lapangan secara nyata masih belum efektif untuk seluruh bumi Papua.


Penutup

Kita sebagai agen intelektual Papua tidak pernah berpikir untuk merencanakan draf konstruksi persatuan untuk menciptakan revolusi intelektual. Sebab, revolusi intelektulal adalah suatu gerakan yang harus di implementasikan oleh para agen intelektual untuk mengubah tatanan sosial yang korup dan menindas. Seperti gerakan reformasi pada 1998 yang dimotori oleh sebagian besar golongan intelektual yang terdiri dari mahasiswa dan lain-lain, yang pada akhirnya sebuah rezim yang otoritarian di gulingkan dari tempuk kekuasaannya. Oleh sebab itu, peran para agen intelektual yang ada di Papua sangatlah pokok dalam membimbing masyarakat, mengarahkan masyarakat, mendidik masyarakat akan etika sosial dan budaya, membangun sistem produksi bersama masyarakat, melakukan sesuatu bagi kepentingan masyarakat, dan masi banyak hal yang harus para agen intelektual kerjakan dalam memenuhi kepentingan masyarakat Papua tersebut. Karena itu, untuk implementasinya tidak bisa secara individu/personal akan tetapi harus pula secara kolektif oleh mereka para golongan intelektual asal Papua tersebut. Kita jangan mempertahankan egosentrisme kita kaum intelektual, karena itu penyakit yang mematikan intelektual kita dan membuat kita bertamba bodoh dan dungu.

Sumber Referensi:
Sekolah itu canduh; sekolah yang diagungkan oleh umat manusia
http://puntodewoblogspotcom.blogspot.com/2012/05/revolusi-intelektual-sebagai-dasar.html


PEMBUNUHAN DAN MUTILASI WARGA SIPIL PAPUA

Pembunuhan Dan Mutilasi 4 Warga Sipil  Pembunuhan dan Mutilasi  4 Warga Sipil di Timika adalah kejahatan kemanusiaan, segera tangkap dan Adi...