Senin, 26 November 2018

Intelektualitas Orang Papua Telah Gagal Sebagian


INTELETUALITAS ORANG PAPUA TELAH GAGAL SEBAGIAN

  Oleh: Arnold Ev. Meaga


Etimologi Intelektual

Etimologi intelektual berasal dari bahasa latin interlego atau intelego yang bermakna “aku membaca diantaranya” atau “aku masi uraikan”. Berdasarkan kamus lengkap indonesia yang dimaksud dengan intelektual adalah orang yang mempunyai kecerdasan tinggi (cendikiawan) dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Krel Ernes George mendefinisikan intelektual sebagai orang yang dalam dan intens memikirkan atau menghayati segala sesuatu. Oxford advanced leamer’ distionary memberikan batasan bahwa intelektual adalah orang-orang yang mempunyai atau menunjukan kemampuan nalar yang baik, tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan pikiran seperti kesenian atau ide-ide itu sendiri, mempunyai kemampuan untuk sunggu-sunggu berpikir bebas. Menurut Paul Baran, seorang intelektual pada azasnya adalah seorang pengeritik masyarakat, seseorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, manganalisis dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan-rintangan jalan yang menghambat tercapainya susunan-susunan masyarakat yang lebih baik, lebih berperikemanusiaan dan lebih rasional.


Sekolah Yang Di Agungkan Oleh Umat Manusia

Ya, sekolah, ternyata memang bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik sebagai pewarisan nilai-nilai, dan akhirnya memang cuma akan menjadi sekedar alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui,  tentu saja, oleh siapa yang berkuasa menentukan apakah nilai-nilai resmi yang mesti berlaku dan direstui, untuk menentukan apakah nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui saat itu dan saat ini.

            Sekolah dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius, misalnya, nation and character building, nilai-nilai resmi itu wajip diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula. Maka, lihatlah; setelah semua anak sekolah diwajipkan berpakaian seragam, menyusul pula kewajiban-kewajiban berseragam lainnya, nyaris dalam segala hal. Dan, itulah yang lebih membuat saya pusing tujuh keliling: pakaian seragam, mata pelajaran seragam, bahasa dan cara bicara seragam, tingkah laku seragam dan, lama kelamaan, wajip seragam pula isi kepala dan isi hati mereka.

         Manusia pada umumnya, sibuk mencari dan menafsirkan segala sesuatu tentang alam raya yang masi belum terpecahkan (ontologi), yang lainnya lagi sibuk melukiskan sesuatu oleh seorang subjek kepada mereka objek tentang hakikat ilmu pengetahuan (epistemologi), sedangkan manusia yang lainnya sibuk menilai hakikat daripada nilai-nilai fundamnental ilmu pengetahuan yang di agung-agungkan oleh umat manusia tersebut (aksiologi). Sebab, apa yang di kritisi oleh kelompok/golongan manusia terhadap segala jenis disiplin ilmu pengetahuan yang ada mereka tak hanya sekedar mengkritisi tanpa bukti konkrit yang ilmia, mereka mengkritisi segala macam disiplin ilmu atas dasar bukti dan data yang konkrit. Oleh sebab itu, pada dasarnya ilmu pengetahuan turut memberikan kontribusi dalam melahirkan segalah macam jenis persoalan sosial yang berfitra dualisme absolut.


Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kuantitatif

Banyak orang-orang Papua yang telah mendapatkan pendidikan yang layak sejak orang-orang Papua tersebut mulai di integrasikan ke dalam bingkai negara kesatuan Repilik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963. Pendidikan yang layak pun di implementasikan oleh pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya untuk mencerdaskan orang-orang Papua, akan tetapi sebaliknya membodohi orang-orang Papua dengan mekanisme pembelajaran yang di ajarkan oleh mereka yang mengajarkan (Guru), kepada mereka yang sedang diajarkan (murid) tersebut.

          Sekarang, jumlah sumber daya orang-orang Papua sudah lebih dari cukup. Dapat kita liaht dalam satu tahun berapa jumlah para sarjanah dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu Sosial, Ilmu Bisnis, Ilmu Teknik, Ilmu hubungan Internasional dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang di dapatkan oleh orang-orang Papua itu sendiri dari masing-masing propinsi dan kabupaten-kabupaten yang ada di seluruh tanah Papua. Karenanya, implikasinya adalah sumber daya manusia Papua dari perpektif kuantitatif sudah lebih dari cukup untuk mengubah tatanan sosial yang timpang. Yang mana tatanan mapan yang destruktif tersebut adalah problem sosial yang harus dikonservasikan oleh agen-agen intelektual asal Papua itu sendiri demi tercapainya kehidupan sosial yang harmonis dan damai diatas tanah Papua bagi umat Tuhan seluruhnya.

         Kesejahteraan, kedamaian dan keharmonisan relasi sosial antara orang-orang di suatu tempat dengan tempat lainnya dapat terlaksana sebagaimana mestinya tergantung jumlah volume sumber daya manusia (SDM), dalam mengkontribusikan idealismenya dalam mengubah suatu tatanan sosial destruktif yang telah mapan. Dalam implementasi, mekanismenya dapat di lakukan dengan berbagai macam metode, bisa juga melalui sistem, bisa juga melalui usaha atau membuka lapangan kerja atas dasar prinsip kolektif, bersosialisasi dll.


Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kualitatif

Barusan telah kita lihat sedikit secara seksama bahwa jumlah sumber daya manusia Papua (SDM-P) sudah sangat cukup. Lalu yang menjadi pertanyaan pokok adalah, apakah dari sekian banyak jumlah volume sumber daya manusia Papua tersebut dari perspektif kualitatif sudah cukup ?

            Dapat kita lihat bahwa, yang saat ini sedang terjadi adalah orang-orang Papua lebih banyak menganyam pendidikan hanya untuk menggapi gelar semata. Esensinya adalah gelar tersebut hanyalah sekedar gelar, gelar tak akan memberikan kontribusi kualitas intelektualitas. Gelar hanyalah sebuah tambahan huruf yang menunjukan kemampuan seseorang pada suatu bidang disiplin ilmu yang sudah seseorang  gapai, yang hakikatnya adalah gelar tersebut hanya menunjukan bahwa kebenaran intelektualitas seseorang itu sendiri. Akan tetapi intelektualitas tersebut tak dapat dibuktikan secara nyata di lapangan.

      Sehingga sumber daya manusia Papua yang beribu-ribu tersebut dari perspektif kuantitatif sudah lebih dari cukup, akan tetapi dari perspektif kualitatif masi belum dari cukup pula. Oleh karena itu, dalam menimbah ilmu dalam berbagai disiplin ilmu yang diperlukan dan yang harus dipenuhi oleh seorang calon intelektualitas adalah penguasaan ilmu tersebut secara kapabilitas, yang pada akhirnya akan terlihat kualitatif dari seorang intelektualitas itu sendiri.


Pengaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Pergolakan antara kaum intelektual asal Papua di atas tanah Papua adalah pergolakan “darah” melalui instrumen politik praktis, politik identitas, politik oportunis dan yang lain-lain. Sebab, apa yang diperjuangkan oleh kaum intelektual bukan untuk memperjuangkan nasip kelompok masyarakat Papua. Intelektualitas hanya dipergunakan sebagai instrumen untuk kembali mengeksploitasi dan menindas masyarakat Papua yang akhirnya akan pula terjadi konflik antar kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Intelektualitas orang-orang Papua yang telah didapatkan melalui lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah Indonesia, dalam mengaplikasikan nya di lapangan, sudah tidak sesuai pula dengan kompotensi yang ia miliki.

        Karena memang, saat ini orang-orang Papua yang berintelektual lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri beserta kelompoknya. Semuanya ikut serta dalam pergolakan politik yang tidak sehat, pergolakan politik yang mengorbankan masyarakat, pergolakan politik yang mengatasnamakan masyarakat dan pergolakan politik yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga, serta memperpanjang penderitaan bagi masyarakat Papua. Esensi daripada kaum intelektual yang dalam hal ini pernah menjabat sebagai pemimpin dalam jabatan pada level Gubernur, Bupati, DPR, DPRP, DPD, MRP, Camat dan lain-lain tak pernah memperhatikan nasip dan kesejahteraan masyarakat dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Apalagi memenuhi aspirasi masyarakat Papua. Yang ada saat ini adalah yang menindas dan membuat menderita masyarakat adalah kelompok kaum intelektual itu sendiri melalui sistem yang sedang mereka jalankan tersebut.

            Yang sekarang menjadi masalah fundamental bagi kaum intelektual Papua adalah, Orang yang berlatar belakang pendidikan dengan kompetensi ilmu Teknik dapat terlibat dalam pergolakan politik, yang seharusnya tidak dapat dilakukan olehnya karena memang berpolitik bukanlah kompentensinya. Demikian sebaliknya, orang yang berlatar belakang pendidikannya sebagai seorang politikus tak dapat mengerjakaan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan keteknikan, begitupun orang dengan latar belakang pendidikannya sebagai dokter tak dapat melaksanakan politik karena itu bukan sebagian dari bidangnya dan seterusnya dan seterusnya. Namun dari semua di atas, untuk wilayah Indonesia bagian timur itu (Papua) tak ada yang mustahil, semuanya dapat di laksanakan. Yang artinya, adalah jika satu orang Papua yang berlatar belakang pendidikannya adalah seorang sarjana politik, anggap saja semua hal tentang pengetahuan entah itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain telah di ketahui olehnya walaupun ia hanya seorang sarjana ilmu politik, namun tentang yang lainnya ia serba tau atau serba berpengetahuan.

            Hal serupa, adalah suatu hal yang membuat kaum intelektual asal Papua tersebut menjadi terpecah belah di atas tanah dan negri mereka sendiri, yang mana tanah dan bumi Papua itu sendiri lagi sedang berada dalam keadan menderita. Dan penderitaan tersebut adalah tantangan bagi kaum intelektual Papua untuk bagaimana mengkonservasikannya kembali layaknya semula. Egosentrisme intelektual, masi terprogram secara penuh pada jiwa rasional kaum intelektual Papua, dan hal itu adalah suatu penyakit kaum intelektual Papua yang susah untuk di sembukan secara bertahap. Karena penawar penyakit tersebut hanya ada pada seorang subjek yang berintelektual itu sendiri. Oleh karenanya, Pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua masih belum ada proggresnya dalam menjawab segalah macam permasalahan sosial yang sedang terjadi dan sedang di alami pula oleh masyarakat Papua secara keseluruhan.


Keberhasilan Dalam Pengaaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Dalam hal ini, saya tidak bisa berasumsi kalo sebagian besar kelompok intelektual asal Papua seluruhnya telah berhasil dalam membangun, membinah, mengarahkan, mendidik, mengajarkan, bahkan sampae dengan memanusiakan manusia Papua seluruhnya. Dan saya sebagai orang Papua menyadari bahwa sebagian besar dari seluruh jumlah orang-orang Papua tersebut bukanlah sebagian dari orang-orang yang berintelektual dan berpendidikan sepenuhnya.

       Akan tetapi, sudah dijelaskan di muka bahwa, secara kuantitatif jumlah kelompok orang-orang Papua yang berintelektual sangatlah cukup/sudah sangat cukup pula dibandingkan dengan kelompok orang-orang Papua yang berintelektual pada tahun 60-an. Sedangkan secara kualitatif intelektualitas orang-orang Papua masih belum sampai pada intelektualitas secara kapabilitas. Oleh sebab itu, dalam mengubah tatanan sosial yang destruktif yang mana sedang di alami oleh umat Tuhan di atas tanah Papua tersebut, akan sangat sulit pula. Sebab, yang selama ini dipelajari oleh orang-orang Papua pada khususnya, dan pada umumnya orang-orang Indonesia pada institusi pendidikan yang ada, adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya sedang dialami oleh bangsa Papua dan bangsa Indonesia ini sendiri. Generasi bangsa Indonesia dan Papua moralnya turut serta di hancurkan oleh institusi pendidikan yang sedang ditekuni oleh pelajar yang sedang diajarkan oleh mereka yang mengajarkan tersebut.

       Karenanya, keberhasilan kelompok orang-orang Papua yang berintelektual dalam melayani, mengayomi dan membebaskan seluruh masyarakat Papua dari keadaan kenyataan sosial yang timpang, dan ketidakadilan masih belum sepenuhnya terlaksana secara absolut. Hal ini, telah terlaksana sejak pada awal bangsa Papua di integrasi bersama bangsa Indonesai pada 1963 hingga saat ini. Ada trobosan-trobosan yang telah diimplementasikan oleh kelompok kaum intelektual asal Papua itu sendiri, dalam mengatasi segalah jenis perkara yang sedang timbul dan terjadi diatas tanah Papua tersebut dalam perpolitikan, perekonomian, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain. Namun, apa yang sedang dikerjakan tersebut yang oleh kaum intelektual tidak berjalan secara horizontal (lancar dan maju) akan tetapi semua usaha tersebut berjalan secara evolusioner. Karena pada dasarnya, egosentrisme intelektualitas masi terproggram dengan sangat rapi pada jiwa rasional kelompok kaum intelektual tersebut. Satu hal fundamental, yang hingga saat ini belum juga dilakukan oleh kelompok kaum intelektual Papua adalah belum adanya pemikiran untuk bersatu dalam satu wadah (organisasi) yang akan dipergunakan sebagai instrumen dalam menciptakan sistem produksi sosial ataupun perjuangan pembebasan hak-hak dasar rakyat Papua itu sendiri.

       Sehingga dengan ini, dapat saya asumsikan bahwa kelompok kaum intelektual asal Papua dalam pengaplikasian intelektualitasnya di lapangan tidak dapat dikatakan sangat proggresif. Akan tetapi, semua pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua dilapangan masih sedang berkembang dan sedang berjalan secara evolusioner, namun itu bukan berarti akan mengalami kegagalan. Sebab, semuanya akan menuai hasilnya dikemudian hari, dan sebuah keberhasilan pengaplikasian suatu intelektualitas adalah suatu perjuangan yang harus diperjuangkan secara fisik dan akal sehat seorang intelektual tersebut. Dan saya menyadari bahwa, apa yang sedang diperjuangkan oleh kelompok komunitas orang-orang intelektual asal Papua tersebut semakin proggresif saat ini, yang dimulai dari, tokoh-tokoh Agama, mahasiswa, tokoh-tokoh adat, serta mereka orang-orang yang berada dalam sistem birokrasi, rakyat sipil, dan lain-lain.

       Ada suatu trobosan yang baru-baru ini yang dibuat oleh kelompok agen intelektual Papua yang terdiri dari beberapa oraganisasi revolusioner yang telah bergabung menjadi satu-kesatuan dalam satu wadah yang dinamai oleh beberapa organ tersebut yang kita kenal dengan sebutan " Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua" yang selanjutnya disingkat dengan "SEPAHAM". Terbentuknya organ gerakan tersebut tidak terlepas dari bentuk-bentuk penindasan, pengeksploitasian SDA besar-pesaran, penghisapan dan lain-lain yang sedang maraknya diimplementasikan oleh penjajah kolonial dan imperialisme dibawah hegemoni militarisme atas bumi Papua dan manusia Papua tersebut. Sehingga, dengan melihat kondisi-kondisi ini, bahkan sudah adanya banyak gerakan-gekan mahasiswa Papua yang berfokus dengan berbagai isu, mulai dari isu hak penentuan nasib sendiri, hingga isu-isu sektoral, mulai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-Papua), serta Solidaritas Nasional, Mahasiswa, dan Pemuda Papua Barat (SONAMAPPA), telah melakukan konferensi bersama yang mana telah melahirkan sebuah gerakan persatuan yaitu Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham). Terbentuknya organ (SEPAHAM) pada  15 November 2018, kalao tidak salah. Jiak salah tanggalnya mohon untuk diklarifikasi melalui komentar anda. Terbentuknya wadah gerakan ini adalah suatu gagasan brilian dan sangat progresif yang pernah dibentuk dan dipikirkan oleh kelompok agen inteletual Papua yang ada. Dan hal tersebut adalah wujud daripada kemajuan rakyat bangsa Papua dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan militarisme yang sedang mempraktikan penjajahan atas bangsa Papua barat itu sendiri.


Kegagalan Dalam Pengaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Jika di tinjau lagi di lapangan secara langsung apakah para intelektualitas Papua tersebut sudah berhasil atau tidak dalam menjawab problem sosial secara menyeluruh atau tidak, maka dapat dikatakan tidak. Karena yang ada, adalah kehidupan masyarakat Papua saling berhadapan dengan ganasnya aparat TNI/POLRI  yang setiap saat melaksanakan tindakan persekusi terhadap masyarakat Papua. Yang oleh tindakan aparat negara tersebut telah banyak mendatangkan bencana pelanggaran HAM besar-besaran terhadap masyarakat Papua. Yang menjadi pertanyaan pokok adalah, kemana semua para sarjana hukum asal Papua itu ? Sampai dimanakah kerja-kerja mereka para sarjana hukum asal Papua itu, ketika terjadi pelanggaran HAM secara bertahap terhadap masyarakat Papua tersebut ? Beribu-ribu kasus HAM Papua yang tertumpuk, bagian kasus HAM mana yang oleh para sarjana hukum asal Papua tersebut sudah menyelesaikannya secara tuntas dan bertahap ? Hingga saat ini pelaku kasus pelanggaran HAM masi tetap diberikan hak impunitas oleh otoritas negara. Dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa, para sarjana hukum asal Papua belumlah evektif dalam mengerjakan apa yang menjadi bagiannya dan apa yang harus dikerjakan olehnya sebagaimana mestinya sesuai kompetensinya. Dan itu menjadi tantangan kedepan untuk bagaimana meluruskan barisan (Bersatu) bagi para sarjana hukum asal Papua tersebut untuk lebih proggresif dalam mengangkat isu kemanusiaan dan berbicara keadilan bagi mereka yang membutuhkan keadilan yang hakiki.

            Dan bagaimana dengan para sarjana Kesejahteraan Sosial asal Papua itu ? apakah mereka sudah sesuai melaksanakan tugas dan fungsinya di lapangan atau tidak ? dalam membimbing masyarakat Papua untuk hidup lebih baik tanpa konflik, tanpa kecemburuan sosial antara masyarakat Papua (Pribumi) dengan masyarakat pendatang (Non-Papua), dan bagaimana cara melakukan aktivitas sosial berdasarkan etika-etika sosial dan budaya. Dapat di katakan bahwa, para sarjana Kesejahteraan Sosial masih belum efektif dalam menjalankan tugasnya di lapangan secara nyata. Sehingga hal tersebut adalah telah gagalnya intelektualitas yang dimiliki oleh para sarjana tersebut. oleh karena itu, tantangan bagi para sarjana Kesejahteraan Sosial adalah bagaimana membinah, mendidik dan mensosialisasikan kepada masyarakat antara yang baik dan tidak baik, atau apa yang harus dilakukan oleh masyarakat dan yang tidak harus dilakukan oleh masyarakat tersebut secara bertahap pada setiap daerah yang harus di berikan arahan tentang hal-hal yang positif dan negatif bagi masyarakat Papua. Karena gagalnya pengaplikasian pengetahuan tersebut di lapangan sehingga masyarakat tersebut akan dengan mudah untuk di manipulasi atau di hasut oleh kelompok-kelompok tertentu.

          Contoh khasus yang baru saja terjadi adalah pemberian hibah 90 hektare tanah yang oleh kepala suku yang bernama “Alex Doga” anak dari kepala suku “Silo Sukarno Doga” kepada TNI-AD di Jayawijaya (Wamena) tepat pada 26, Sepetember, 2018. Beliao kepala suku “Silo Sukarno Doga” adalah salah satu kepala suku selain “Kurulu Mabel”, dan “Ukum Hearik Aso” yang mengambil peran penting dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakayat (PEPERA) 1969 pada saat itu. Singkatnya merekalah kelompok orang-orang yang berpengaruh yang hakikatnya pro terhadap pemerintah kolonial Indonesia. Dan yang sudah terjadi atas hal pemberian tanah tersebut adalah keberhasilan pihak aparat dalam mensosialisasi kan tujuan mereka sekaligus maghasut masyarakat yang didalamnya adalah kepalah suku sebagai objekenya. Jika para sarjana Kesejahteraan Sosial ataupun para Intelektual asal Papua lebih dulu telah memberikan pemahaman yang baik melalui sosialisasi terhadap masyarakat tersebut maka masyarakat tersebut tak akan mudah untuk di hasut ataupun di manipulasi dengan berbagai macam cara. Dan kejadian seperti hal diatas kemungkinan besar tak dapat terjadi pula.

        Sedangkan para sarjana ilmu Pemerintahan asal Papua yang jumlahnya sangat banyak itu, bagaimana dengan aktivitas mereka sehari-hari dalam menjalankan kerja-kerja mereka dalam sistem pemerintahan dan diluar dari sistem pemerintahan ? ada sebagian para sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua yang bekerja dalam sistem pemerintahan yang tiap-tiap saat mengatur tentang manajemen dan penegendalian sistem pemerintahan, namun sampai saat ini masih banyak pula pengangguran para sarjana asal Papua itu sendiri. Lalu akan bagaimana nasip para sarjana yang menganggur tersebut ? jika para sarjana asal Papua yang telah berada pada posisi aman dalam sistem pemerintahan tak bisa membuat sesuatu dan tetap saja ambil sikap apatis, serta tak mau membantu para sarjana asal Papua lainnya yang berstatus penganggur tersebut untuk mendapatkan hak mereka layaknya para sarjana lainnya, maka itu adalah suatu kegagalan para sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua tersebut. Dengan adanya keberadaan mereka dalam sistem pemerintahan tersebut sehingga kesempatan tersebut dapat di manfaatkan sebaik-baiknya untuk bagaimana orang-orang Papua di masukan sebanyak-banyaknya dalam sistem pemerintahan yang ada, sebab orang-orang Papua sudah harus di prioritaskan dalam sistem pemerintahan yang ada di atas tanah Papua. Akan tetapi, yang terjadi saat ini adalah sebagian besar para sarjana asal Papua terdiri dari pengangguran yang terbengkalai begitu saja. Dan hal demikian adalah kegagalan total orang-orang Papua yang berintelektual yang sedang beraktivitas dalam sistem pemerintahan yang ada.

          Lalu bagaimana dengan para Sarjana Kesehatan asal Papua yang saat ini dapat dikatakan sudah cukup pula jumlahnya. Apa yang sudah mereka kerjakan terhadap kesehatan masyarakat Papua ? yang hingga saat ini tingkat kematian yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit, kurangnya gizi/gizi buruk, kematian ibu dan anak meningkat di seluruh pelosok bumi Papua. Adakah hasil riset-riset ilmia secara langsung dilapangan terkait sebab, akibat atau asal-usul penyakit yang diderita oleh masayarakat Papua oleh para sarjana Kesehatan tersebut ? adakah solusi-solusi yang di tawarkan oleh para sarjana kesehatan tersebut kepada pemerintah Papua untuk di tindak lanjuti lebih lanjut ? terkait kesehatan masyarakat Papua itu sendiri.

           Kenyataanya kebanyakan para sarjana kesehatan asal Papua tersebut lebih memilih tempat-tempat yang terhormat, lebih memilih untuk di hargai martabatnya sebagai seorang dokter atau ahli kesehatan. Tidak ada yang memilih untuk melayani masyarakat yang ada di pedesaan, atau singkatnya masyarakat yang berada jauh dari jangkauan wilayah perkotaan dan sekitarnya. Sehingga hal tersebut ialah sebuah kegagalan yang harus diperhatikan dan di perbaiki pula oleh para sarjana kesehatan untuk bagaimana menjawab tantangan-tantangan kesehatan masyarakat Papua yang belum pula di selesaikan oleh para sarjana kesehatan terdahulu.

           Lalu bagaimana dengan para intelektualitas yang terdiri dari para guru asal Papua itu sendiri ? yang hingga kini, pada dasarnya penyakit kebodohan itu masi melekat pada semua generasi orang-orang Papua itu sendiri. Kebodohan yang masih diderita oleh semua orang-orang Papua tersebut tak pernah dipertanyakan oleh kelompok intelektual Papua yang ada. Mereka membiarkan kebodohan tersebut tetap menguasai generasi orang-orang Papua hingga kini. Oleh karenanya, apa yang telah dilakukan oleh para guru asal Papua itu ? Dalam mencerdaskan generasi orang-orang Papua. Yang ada, hanyalah para guru tersebut tidak pernah mengabdi dengan sungguh-sungguh dalam mendidik dan mencerdaskan generasi orang-orang Papua tersebut. Dan para guru asal Papua tersebut turut serta dalam memberikan kontribusi penyakit kebodohan kepada generasi orang-orang Papua, yang mana generasi orang-orang Papua tersebut senantiasa dididik, dibina, diajarkan dan diarahkan pikirannya pada hal-hal yang hakikatnya tak diketahui oleh para murid yang sedang menerima ilmu pengetahuan tersebut melalui para guru yang bukan pula orang asli Papua itu sendiri. Namun apa yang diajarkan oleh para guru migran tidak semuanya mengajarkan murid untuk bagaimana membodohi murid tersebut. Oleh karena itu, yang mempunyai peran penting dalam mencerdaskan suatu bangsa sepenuhnya ada pada peran guru yang selalu mengambil peran penting tanpa jasah. Jika para guru memiliki rasa patriotisme yang tinggi niscaya ia akan melakukan apa yang menjadi tugasnya sebagai seorang guru dalam mencerdaskan bangsanya dengan sungguh-sungguh, dan guru seperti ini memiliki target khusus dalam memdidik dan mencerdaskan suatu bangsa yang adalah sebagian daripada bangsanya sendiri.

            Dan bagaimana dengan para sarjana ekonomi yang jumlahnya tak kalah banyak itu ? Banyak orang-orang Papua yang terdiri dari sarjana ekonomi, tetapi yang menjadi pertanyaan pokok disini adalah, bagaimana kemiskinan itu masih tetap merajalela di seluruh pelosok bumi Papua tersebut ? Apakah ada riset-riset ilmia berdasarkan observasi langsung di lapangan yang berhubungan dengan penyebab kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi yang hingga kini masi tetap merengut orang-orang Papua tersebut ? yang hingga saat ini, tak ada suatu trobosan fundamental yang telah dilakukan oleh para sarjana ekonomi asal Papua tersebut untuk bagaimana bersama rakyat membuat suatu draf sistem produksi, ataupun membuat kegiatan-kegiatan dalam mendidik masyarakat untuk mengembangkan ekonomi mandiri bagi rakyat untuk bagaimana mereka bersaing secara akal sehat dalam hal ekonomi. Akan tetapi, karena hal serupa adalah sebagian daripada kegagalan para sarjana ekonomi asal Papua itu sendiri, namun bukan berarti semuanya telah gagal total, yang hingga kini, mungkin ada sebagian dari para sarjana ekonomi asal Papua tersebut sedang dalam proses perencanaan draf sistem produksi bersama rakyat. Untuk mengeluarkan rakyat dari ketimpangan ekonimi yang ada. Dalam hal ini, peran bagi para sarjana ekonomi adalah sangat fundamental, dan yang harus dilakukan oleh para sarjana ekonomi asal Papua adalah dengan cara membangun konstruksi persatuan antara para sarjana ekonomi itu sendiri. Setelahnya tinggal bagaimana mereka berpikir untuk menguasai ekonomi Papua secarah penuh. sehingga, dengan ini janganlah pelihara penyakit egosentrisme intelektualitas.

            Yang lebih jelasnya lagi, dari semua para agen Intelektual asal Papua dari berbagai disiplin ilmu yang ada saat ini, adalah belum dewasa dalam memandang realitas sosial yang sedang di alami oleh seluruh masyarakat Papua dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan dan lain-lain. Dan karenanya, belum dewasa pula dalam menjalankan kompetensinya secara langsung dilapangan, sehingga para agen intelektual tersebut tak dapat pula mengubah tatanan sosial yang mapan. Kiranya dapat di ulangi lagi perkataan awal adalah penyakit egosentrisme intelektualitas masi mengakar pada jiwa rasional manusia Papua. Oleh karena itu, intelektualitas tanpa praksis sama halnya dengan tak menghasilkan suatu perubahan, demikian sebaliknya, suatu perubahan tanpa praksis sama halnya dengan tak menghasilkan suatu perubanan pula. Perubahan membutuhkan persatuan dan solidaritas dari para agen intelektual, dalam menyusun draf stratak untuk mengubah tatanan sosial yang berfitra destruktif absolut. Maka, tugas daripada para intelektual Papua adalah bersatu dan segera membentuk konfigurasi komunitas dari setiap para sarjana yang ada dari berbagai didiplin ilmu. Dan masing-masing dapat jalan sesuai dengan fungsinya, yang artinya saling bergotong royong dalam implementasi aktivitas kemanusiaan dan sejenisnya bagi masyarakat Papua.


Sebab Dari Semua

Kurangnya peran dari para agen intelektual yang berasal dari orang-orang Papua itu sendiri, tentunya sangat membawa dampak yang cukup signifikan pada masyarakat Papua yang sebagian besar masih berada dalam keadaan tak sadar akan kenyataan sosial yang sedang dialami olehnya sendiri. Masyarakat Papua tak tau bahwa sebenarnya ia adalah objek yang dikendalikan, dikontrol ataupun diawasi atau, subjek yang mengontrol dan mengendalikan sektor-sektor fundamental macam politik, ekonomi dan lain-lain. Esensinya ialah, masyarakat Papua adalah objek yang telah diobjekkan oleh negara sentral (Jakarta). Sehingga masyarakat Papua maupun pemerintah Papua semuanya adalah objek yang senantiasa dipantau, diawasi, dikontrol, dan dikendalikan melalui mekanisme sistem yang di teruskan oleh jakarta terhadap Papua. Oleh sebab itu, dalam hal ini peran para agen intelektual sangat penting dan sangat mendesak pula dalam menyampaikan hakikat daripada kenyataan sosial saat ini kepada masyarakat Papua seluruhnya. Kenyataan yang destruktif yang mana sedang dialami oleh masyarakat Papua saat ini, faktor utamanya ada pada para kaum intelektual Papua itu sendiri. Jika para agen intelektual tetap mengambil bagian menjadi agen intelektual yang apatis, maka keadaan kehidupan masyarakat Papua tersebut akan tetap berada dalam keadaan hancur-hancuran seperti yang ada saat ini.


Akibat Dari Semua

Akibat dari semua sebab daripada keberhasilan dan juga kegagalan pengaplikasian intelektualitas yang oleh para agen intelektual dari Papua itu sendiri telah saya bicarakan panjang lebar diatas. Dan dampaknya pun sangat banyak dan berheterogen pula yang dialami oleh masyarakat Papua tersebut. Implikasinya adalah keberhasilan daripada pengaplikasian intelektualitas di lapangan secara nyata masih belum efektif untuk seluruh bumi Papua.


Penutup

Kita sebagai agen intelektual Papua tidak pernah berpikir untuk merencanakan draf konstruksi persatuan untuk menciptakan revolusi intelektual. Sebab, revolusi intelektulal adalah suatu gerakan yang harus di implementasikan oleh para agen intelektual untuk mengubah tatanan sosial yang korup dan menindas. Seperti gerakan reformasi pada 1998 yang dimotori oleh sebagian besar golongan intelektual yang terdiri dari mahasiswa dan lain-lain, yang pada akhirnya sebuah rezim yang otoritarian di gulingkan dari tempuk kekuasaannya. Oleh sebab itu, peran para agen intelektual yang ada di Papua sangatlah pokok dalam membimbing masyarakat, mengarahkan masyarakat, mendidik masyarakat akan etika sosial dan budaya, membangun sistem produksi bersama masyarakat, melakukan sesuatu bagi kepentingan masyarakat, dan masi banyak hal yang harus para agen intelektual kerjakan dalam memenuhi kepentingan masyarakat Papua tersebut. Karena itu, untuk implementasinya tidak bisa secara individu/personal akan tetapi harus pula secara kolektif oleh mereka para golongan intelektual asal Papua tersebut. Kita jangan mempertahankan egosentrisme kita kaum intelektual, karena itu penyakit yang mematikan intelektual kita dan membuat kita bertamba bodoh dan dungu.

Sumber Referensi:
Sekolah itu canduh; sekolah yang diagungkan oleh umat manusia
http://puntodewoblogspotcom.blogspot.com/2012/05/revolusi-intelektual-sebagai-dasar.html


Senin, 06 Agustus 2018

Proklamasi Kemerdekaan Bangsa West Papua & Bangsa Indonesia


PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA WEST PAPUA DAN BANGSA INDONESIA
Oleh: Arnold Ev. Meaga
SORONG SAMPAI MERAUKE ADALAH BANGSA WEST PAPUA
Setiap bangsa dan Negara di dunia ini memilki letak geografis dan batas wilayahnya masing-masing. Letak geografis dan batas wilayah menunjukan bahwa tempat tersebut dihuni oleh suatu kelompok komunitas manusia dengan ras, etnik, kebudayaan (kultur), system religious dan lain-lain yang diterapkan dan dijalankan secara bersama-sama dalam kelompok komunitas masyarakat tersebut. Yang selanjutnya disebut dengan suatu bangsa yang menjalankan aktifitas ekonomi, politik, social dan budaya bersama-sama dalam satu bingkai mesin Negara.
Sorong sampai dengan Merauke, adalah wilayah kedaulatan Bangsa West Papua, dan wilayah ini hanya disediakan oleh sang Khalik kepada bangsa West Papua selain itu tidak ada. Sebab bangsa West Papua adalah bangsa yang terdiri dari etnis Melanesia, etnik, bahasa, system religi dan kultur yang begitu heterogen yang dimiliki oleh Bangsa West Papua, numuan dari kesemuanya yang begitu berbeda-beda akan tetapi semua dapat hidup dan dapat pula menjalankan aktivitas dalam berekonomi, bersosial, berbudaya dan lain-lain di atas tanah dan negri bangsa West Papua itu sendiri tanpa keagresifan yang akan menyebabkan akibat kedestruktifan.
Dengan berkembangnya kecerdasan umat manusia dalam ilmu pengetahuan tentang politik, ekonomi, social dan budaya tersebut sehingga menimbulkan praktik penindasan dengan mekanisme penaklukan bangsa lain dan menjajah bangsa lain yang lemah dan dianggap primitive oleh mereka bangsa yang telah lebih maju dalam hal ilmu pengetahuan tersebut. Ilmi pengetahuan yang dipelajari oleh manusia tidak dapat digunakan dengan baik oleh mereka pengguna ilmu pengetahuan itu sendiri dalam menerapkan ilmu tersebut pada lingkungan social yang ada. Sebab pada dasarnya ilmu digunakan untuk menguasai dan mengendalikan umat manusia untuk bagaimana umat manusia itu dapat melakukan aktivitas sosialnya denagan baik dan benar. Terkadang kebanyakan manusia menggunakan ilmu sebagai alat dalam menindas umat manusia lainnya yang belum pula maju dan cerdas dalam hal yang satu ini (Ilmu Pengetahuan).

BATAVIA (JAKARTA) SAMPAI AMBOINA ADALAH BANGSA INDONESIA
Asumsi bangsa Indonesia bahwa Papua adalah sebagian dari Indonesia dan Indonesia adalah sebagian dari Papua adalah asumsi yang sangat keliru. Namun asumsi tersebut adalah asumsi yang telah terproggramkan secara penuh terhadap rakyat Indonesia sejak pada 1962, oleh pemerintahnya yang telah salah dalam menyampaikan apa yang sebenarnya harus disampaikan kepada rakyat Indonesia ini sendiri. Sehingga pandangan rakyat Indonesia (tidak Papua) terhadap Papua adalah benar bahwa Papua adalah sebagian dari Indonesia. Oleh sebab itu, sejak bangsa Papua diintegrasikan dengan cara aneksasi melalui Pepera yang esensinya adalah telah diimplementasikan secara cacat hokum dan moral secara penuh diatas tanah Papua tersebut, adalah sebuah persoalan fundamental dalam permasalahan besar atas bangsa West Papua yang pernah dilakukan oleh Indonesia, Belanda, Amerika dan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang sama sekali belum diketahui oleh sekian juta rakyat Indonesia yang ada terkait hal serupa.
Sehingga dalam memandang Papua dalam konteks kemajuan dalam politik, ekonomi, social, budaya, pendidikan dan lain-lain oleh rakyat Indonesia terhadap orang-orang Papua sangatlah tidak benar. Dapat dikatakan oleh mereka (rakyat Indonesia) bahwa bangsa Papua masih hidup dalam bingkai primitive, bodoh dan sejenisnya. Namun hal tersebut adalah suatu kausalitas daripada pembohongan sistematis yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Indonesia tentang kebenaran sejarah (historis) Papua yang hakiki.
Kedaulatan bangsa dan Negara Indonesia batas wilayahnya bukan dari sabang sampai Merauke melainkan dari Batavia (Jakarta) sampai dengan Amboina saja tidak lebih dari itu. Dalam keonteks penjajahan, bangsa Papua dan bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa colonial yang sama (Blenada) namun dalam kurun waktu yang berbeda. Indonesia dijajah selama 350 tahun lamanya, sedangkan bangsa West Papua selama 64 tahun lamanya, secara administrative pun berbedah antara bangsa West Papua dan bangsa Indonesia.

 PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA 1945
Pada saat bangsa Indonesia sedang dalam perjuangan pembebasan dalam rangka mengusir penjajah Belanda kolonialisme dari bumi Indonesia ini sendiri, dalam perjungan pembebasan bangsa Indonesia dari penjajahan diperjuangkan dalam jangka waktu yang sangat lama. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bagsa Indonesia dijajah dalam jangka waktu 350 tahun lamanya, dan memang bangsa Indonesia adalah bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa eropa dalam jangka waktu yang sangat lama.
Bangsa Indonesia baru dapat memproklamasikan kemerdekaannya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat sebagaimana bangsa lainnya didunia ini pada 17, Agustus,1945 secara dejure dan devakto dari bangsa kolonialisme yang menjajah bangsa Indonesia. Dalam proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia tidak ada satupun orang-orang Papua yang pernah terlibat dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut sebagai perwakilan dari Papua. Bahkan, dalam sumpa pemuda pun tidak ada orang-orang Papua yang pernah ikut dalam sumpah pemuda tersebut. Sumpah pemuda dilakukan hanya terdiri dari pemuda-pemudi dari Batavia (Jakarta) sampai Amboina saja tidak lebih dari itu. Oleh sebab itu, yang menjadi bagian kekuasan dan kedaulatan bangsa Indonesia dengan letak georafisnya, yang batasnya mulai dari Batavia sampai Amboina (tidak Papua). Karenanya, bangsa West Papua pada dasarnya bukanlah sebagian dari bangsa Indonesia, begitupun sebaliknya.

PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA WEST PAPUA 1961
Bangsa West Papua sampai saat ini telah berpindah posisi dari penjajah eropa (Belanda kolonialisme) ke penjajah Asia (Indonesia Kolonial) yang sampai saat ini sedang menjalankan paraktik penjajahan terhadap bangsa West Papua secara absolut.
Namun yang menjadi catatan adalah Bangsa West Papua adalah bangsa yang telah memproklamasi kemerdekaannya pada 1 Desember 1961 secara dejure dan devakto, sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dengan batas wilayah dari Sorong sampi dengan Merauke. Dan kemerdekaan bangsa West Papua tersebut telah disiarkan oleh berita-berita Internasional bahwa bangsa West Papua adalah bangsa yang telah memerdekakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, layaknya bangsa lainnya yang ada di dunia ini. Sehingga dalam hal ini, kenapa sampai kita bagsa West Papua bisa hidup dalam satu bingkai yang sama dengan bangsa Indonesia yang hakikatnya bukanlah sebagian dari bangsa West Papua?
Untuk mengetahui lebih lanjut secara  konkrit gambaran tentang kenapa sampai saat ini bangsa West Papua dan bangsa Indonesia bisa hidup bersama-sama, saya mengajak anda untuk meninjau lagi lebih lanjut tentang hari dan tahun-tahun penting ini. Diantaranya yakni: “Tragedi Tri-Komando Rakyat (Trikora) atas Papua pada 19, Desember, 1961; Perjanjian Now York (Now York Agrement) 1962; Perjanjian Roma (Roma Agrement) 30, September, 1962; Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 atas Papua dan Integrasi Papua 1963.”

PENUTUP 
17,Agustus,1945 adalah hari HUT kemerdekaan bangsa Indonesia yang dengan kedaulatannya mulai dari Batavia (Jakarta) sampai Amboina. Sedangkan kemerdekaan bangsa West Papua adalah pada 1 Desember 1961 bukan pada 17,Agustus,1945. Sehingga dalam rangka perayaan hari HUT kemerdekaan NKRI tidak harus dilaksanakan oleh seluruh bangsa West Papua diatas tanah Papua. Semua keadaan realitas social diatas Bumi West Papua sudah harus diakhiri. Karena bangsa West Papua senantiasa berada dalam keadaan tertindas oleh bangsa Indonesia. Itu adalah esensinya bagi bangsa West Papua yang hakiki.
  • Sebuah revolusi bukanlah taman mawar. Sebuah revolusi adalah pertarungan sampai mati. (Videl Castro)!
  • Kemerdekaan bangsa Indonesia haruslah dimenangkan secara 100% (Tan Malaka)!
  • Revolusi akan gagal jika tidak diadakan perubahan radikal. (Soe Hok Gie)!
  • Saya mulai revolusi dengan 82 orang. Jika saya harus melakukannya lagi, dengan keyakinan mutlak saya akan melakukannya. (Videl Castro)!
  • Anda mengatakan menginginkan revolusi, kita semua ingin merubah dunia tetapi jika anda berbicara tentang kehancuran, anda dapat menganggap saya keluar. (John Lenon)!


  • Jika anda ingin tau teori dan metodologi revolusi, anda harus mengambil bagian dalam gerakan revolusi. Pengetahuan sejati hanya bias diperoleh dengan pengalaman langsung. (Mao Tse-Tung)!
Gambar terkait
Sumber Referensi:

http://Jagokata.com/kutipan/kata-revolusi.html

Rabu, 11 Juli 2018


ASPIRASI BANGSA WEST PAPUA TANPA RESPONSIF

Oleh: Arnold Ev. Meaga

Aspirasi dan Hukum Bagi Rakyat Papua Barat

Dalam menyampaikan tuntutan atas pelanggaran HAM yang terjadi diatas tanah Papua, terhadap rakyat Papua, oleh aparat TNI/POLRI Indonesia sebagai pelaku pelanggaran HAM sepenuhnya diatas tanah Papua. Dalam hal ini, tidak ada penuntasan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM diatas tanah Papua oleh negara melalui mekanisme hukum yang berlaku sejak pada 1963 hingga saat ini. “Aspirasi rakyat Papua dapat dikatakan sebagai aspirasi tanpa respon”. Aspirasi rakyat Papua adalah aspirasi yang diabaikan, aspirasi yang tidak dapat diteruskan, aspirasi yang tidak ter-uruskan, aspirasi yang didiamkan, aspirasi yang dibungkam, aspirasi yang dikarantinakan dan ditutupi oleh pemerintah Indonesia, melalui mekanisme media masa miliknya yang tidak adil dan terlalu banyak mendistorsikan informasi-informasi fundamental terhadap rakyat Indonesia, atas kenyataan sosial secara konkrit yang sedang terjadi dan dialami oleh rakyat Papua diatas tanah Papua seluruhnya. Bahkan pelaku pelanggaran HAM tersebut diberikan hak impunitas oleh otoritas hukum sejak pada 1963 saat integrasi Papua masuk dalam bingkai Indonesia hingga saat ini.

Apa gunanya ada hukum ? apa gunanya ada komisi nasional hak asasi manusia (komnas HAM) ? apa gunanya lembaga-lembaga hukum yang ada dalam negri ini ? jika kebijaksanaan yang diimplementasikan oleh badan otoritas tersebut tidak sesuai dengan kede etik daripada hukum itu sendiri terhadap rakyat yang hidup pula dalam mesin negara itu sendiri. Dalam teori-teori kedaulatan negara, hukum adalah kehendak negara, hukum bukan kehendak kelompok masyarakat dan, negara mempunayai kekuatan dan kekuasaan tak terbatas, orang dibuat untuk mentaati hukum karena negara menghendakinya. Sehingga dalam pengimplementasian kebijakan hukum pada lungkunagan sosial oleh negara, adalah suatu alat dalam melegitimasi pembenaran atas kebijakan negara itu sendiri. singkatnya, negara tidak akan pernah disalahkan dan dihukum seketika negara melakukan kesalahan terhadap kelompok masyarakat, negara mempunyai hukum, kelompok masyarakat tidak mempunyai hukum untuk menghukum negara ketika negara bersalah terhadap kelompok masyarakat.

Sehingga, spirasi rakyat pun dalam menuntut ketidak adilan dan penuntutan segala jenis pelanggaran HAM oleh rakyat hanyalah menjadi sekedar aspirasi belaka tanpa proses lebih lanjut oleh pihak-pihak yang berkaitan, dalam merespon dan menyelesaikan persoalan yang sedang di aspirasikan (tuntutan) oleh rakyat. Dalam negara demokrasi, rakyat diperbolehkan menyampaikan pendapat dimuka umum, bebas berserikat, bebas mengkritisi kebijaksanaan pemerintah, bebas berkumpul, berorganisasi dan masi banyak lainnya. Namun, kebebasan bagi rakyat dalam mengimplementasikan hak-hak dasarnya hanya dapat dilakukan di negara-negara demokrasi yang dewasa dalam berdemokrasi. Berbeda pula bagi negara-negara demokrasi yang belum dewasa dalam berdemokrasinya. Oleh karena itu, dalam negara yang belum dewasa sistem demokrasinya akan sulit dalam merespon aspirasi rakyat jika aspirasi rakyat tersebut isinya kontradiktif dengan perundang-undangan negara, bahkan dalam proses penyelesaiaannya tidak akan pernah direalisasikan oleh negara tersebut.

Dengan demikian mekanisme hukum di implementasikan oleh manusia, manusia ialah hukum itu sendiri, manusia yang menjalankan mekanisme hukum atas manusia lainnya (Masyarakat). Hukum di buat oleh manusia dan manusia menciptakan hukum, hukum tidak menciptakan manusia melainkan hukum mengikat manusia agar manusia hidup tanpa agresif yang akan mendatangkan kedestruktifan. Akan tetapi, hukum juga dapat membenarkan orang yang bersalah dan yang benar dapat di salahkan, tergantung kelompok manusia yang mengimplementasikan mekanisme hukum itu sendiri.

Dalam negara ini, hukum tidak berjalan horizontal melainkan berkelok-kelok alias hukum itu tidak berpihak kepada rakyat, hukum hanyalah berpihak kepada kelompok dan gologan oligarki semata dan sejenisnya. Manusia-manusia yang menjalankan mekanisme hukum dapat dengan sesukanya menghukum manusia lainnya (Masyarakat) ketika manusia lainnya bersalah. Namun, jika kelompok manusia yang berkuasa atas hukum tersebut bersalah apakah manusia lainnya (Masyarakat) yang tidak berkuasa atas hukum tersebut dapat menghukum merek ? sangat tidak pasti hal itu akan terjadi. Sebab kelompok manusia yang menjalankan hukum merekalah yang mempunyai hukum itu, dan manusia lainnya yang mendominasi (Masyarakat) tidak mempunyai hukum untuk menghukum pula kelompok manusia yang berkuasa terhadap hukum itu. Oleh sebab itu, singkatnya, hukum itu di jalankan oleh manusia-manusia yang kejam dan jahat.

Kehendak Rakyat Papua Barat Dalam Beraspirasi

Penyampaian aspirasi oleh rakyat Papua Barat terhadap otoritas tertingga (negara), adalah suatu keharusan bagi rakyat Papua dalam menyampaikan kebenaran destruktif yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia diatas tanah Papua. Sejak awal pengintegrasian bangsa Papua masuk ke dalam bingkai Negara Kesatuan Repulik Indonesia (NKRI) pada 1 mei 1963 hingga saat ini adalah suatu kehendak pihak-pihak eksternal yang memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya diatas tanah Papua. Ironisnya, ketika pengintegrasian Papua masuk dalam bingkai Indonesia adalah bukan kehendak rakyat bangsa Papua Barat melainkan kehendak bangsa-bangsa lain (eksternal) (Indonesia, Belanda dan Amerika As) yang hakikatnya bangsa-bangsa lain tersebut bukanlah sebagian darpada bangsa Papua dan tidak seharusnya keterlibatan mereka dalam mengurus nasip dan masa depan bangsa Papua Barat. Tetapi, sampai dengan yang ada saat ini ialah Papua telah menjadi bagian dari Indonesia dan Indonesia telah menjadi bagian dari Papua. Yang mana hal tersebut tidak seharusnya terjadi antara bangsa Indonesia dan bangsa Papau Barat. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang berdaulat yang batas wilayahnya mulai dari Batavia (jakarta) sampai dengan Amboina (tidak Papua), demikian pula, Papua Barat adalah sebua bangsa yang berdaulat dengan batas wilayahnya yang mulai dari Sorong sampai dengan Merauke.

Karenanya, klaim Indonesia bahwa Papua adalah sebagian dari Indonesia adalah hal yang perlu dipertanyakan kebenarannya. Sebab klaim Indonesia tersebut adalah klaim dasar yang keliru dan abstrak. Dalam pembuktiannya pun kebenarannya atas asumsi-asumsi Indonesia atas Papua sama sekali tidak relevan, sehingga asumsi-asumsi tersebut atas klaim Indonesia terhadap bangsa Papua adalah sepenuhnya klaim palsu dan pemanipulasian sejarah berdasarkan klaim kepentingan Indonesia dan negra-negara adidaya lainnya. Sehingga dapat dikatakan yang sebenarnya bahwa bangsa Papua telah diintegrasikan secara cacat hukum dan moral (baca; integrasi papau, dan pepera 1969).

Kenyataan ril diatas tanah Papua sejak pengintegrasian Papua masuk kedalam bingkai Indonesia hingga saat ini, rakyat Papua tidak dapat hidup dalam keadaan aman dan nyaman layaknya anggota masyarakat lainnya yang berdomisili di tanah jawa dan sekitarnya. Kehidupan rakyat Papua diatas tanah Papua tidak dibiarkan bebas dalam melakukan aktivitasnya dalam berpolitik, berekonomi, bersosial dan berbudaya. Rakayat Papua selalu dipantau, diawasi, dicurigai, dikejar, ditangkap, dianiayaya, ditekan secara mental dan fisik, bahkan sampae dengan pembunuhan secara sewenag-wenang oleh aparat keamanan yang ada diatas tanah Papua seluruhnya. Dengan tindakan aparat secara sewenag-wenang dan secara sepihak terhadap rakyat Papua, maka hal tersebut dapat mendatangkan keadaan dan kondisi destruktif terhadap rakyat Papua. Kenyataan dan kondisi yang sedemikian destruktif tersebut sehingga mendatangkan pula suatu pemberontakan damai yang selalu dimotori oleh seluruh element rakyat Papua yang didalamnya terdiri dari berbagai macam organ-organ revolusioner yang dapat memperjuangkan nasip bangsa Papua dengan mekanisme penyampaiaan aspirasi atas penguasa yang tidak pernah mendengar dan peduli atas aspirasi rakyat Papau pada khususnya dan umumnya rakyat Indonesia.

Perjuangan yang diperjuangkan oleh rakyat Papua dengan mekanisme penyampaian aspirasi yang berlangsung secara damai sejak pada 1963 hingga saat ini tidak akan pernah berhenti dalam menuntut kebenaran, keadilan, ketidakadilan, pelanggaran ham, bahkan sampai dengan pembunuhan yang telah dan sedang diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua Barat sejak pada 1963 (awal integrasi) hingga yang  ada saat ini. Dengan melihat kenyataan sosial yang begitu tidak sehat bagi seluruh rakyat Papua barat, sehingga menimbulkan dorongan bagi rakyat Papua dalam mengkritisi pemerintah Indonesia yang menerapkan segala macam sistem yang kontadiktif di dalam sistem pemerintahan Papua, yang bersifat mengikat dan mematikan manusia Papua seluruhnya dari berbagai macam aspek (politik, ekonomi, sosial, budaya dll).

Sikap Brutal Aparat Keamanan di Atas Tanah Papua

Dalam pembahasan sikap brutal aparat keamanan diatas tanah Papua terhadap rakyat Papua ini kita hanya akan batasi dalam pembahasannya tidak pada tahun-tahun yang lampau, akan tetapi pembahasan kita hanya akan mulai pada tahun 2014, 2015 dan seterusnya. Yang mana sikap brutal aparat yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat tersebut yang belum juga di tuntaskan oleh negara dalam merealisasikan proses penyelesaiannya hingga saat ini.

Pada Jumat  09 mei 2018 aparat gabungan yang terdiri dari Polisi dan Brimob Moanemani telah melakukan penembakan terhadap warga sipil yang bernam Geri Goo secara membabi buta sehingga korban tersebut meninggal dengan jumlah tiga timah panas yang tersarang dalam tubuhnya, dua timah panas diantaranya telah dikeluarka dan yang satuhnya tetap tersarang dalam tubuh korban tersebut hingga meninggal. Sehingga desakan masyarakat yang berdemonstrasi, pada 09 april 2018 hingga demonstrasi mahasiswa di Gorontalo, Manado, Bali, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, Bogor dan Bandung pada 11 april 2018 itu, masih belum ditanggapi dan di tindaklanjuti pelaku penembakan tersebut hingga saat ini, yang mana pelaku tersebut masih belum pula diproses secara hukum yang berlaku.

Hal serupa diatas, perwakilan mahasiswa juga telah mengadukan kasus penembakan ini, kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (komnas HAM) di Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 april 2018. Namun, hingga sampai saat ini tidak ada tindak lanjut untuk proses kasus ini dalam hal penyelesaiaannya secara tuntas oleh pemerintah Indonesia pada umumnya dan khususnya pemerintah Papau dan Papau Barat.

Dalam segala macam tindakan anarkis dan sadistis yang di jalankan oleh petugas aparat (TNI/POLRI, BRIMOB dan sejenis) di Papua tidak terlepas dari kontrol kapolda Papua yang diam didepan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bawahannya itu, yang mengingatkan dan membangkitkan perasaan traumatis dan emosionalitas kita pada ratusan kasus pelanggaran HAM serupa yang pernah terjadi di Dogiayi dan Papua pada umumnya. Semua orang Papua tahu bahwa, sejak 01 mei 1963 dimana administrasi atas Papua dialihkan kepada Indonesia oleh UNTEA  untuk melaksanakan pepera pada 1969 itu, Indonesia sudah mulai melakukan pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak asasi rakyat Papua: hak hidup, hak berkumpul, dan hak berserikat, hak menyampaikan pendapat dimuka umum, hak politik bangsa Papua, kovenan internasional tentang hak Ekonomi Sosial, Budaya dan Deklarasi universal Hak Asasi Manusia.

Pelanggaran HAM yang diabaikan hingga hari ini jumlahnya sangat banyak. Kita mengingat beberapa kasus penembakan yang pelakunya polisi, dan aparat keamanan Indonesia di Papua, misalnya tragedi Paniai Berdarah pada 08 Desember 2014; 5 siswa yang berseragam SMP ditembak mati di Paniai dengan senjata tajam. Kasus Deiyai Berdarah, tahun 2013, 2015 dan 2017. Kasus pembunuhan yang terjadi di Ugapuga, Dogiayai berupa tabrak lari yang mana pelakunya adalah anggota Brimob yang dibekokan di Polsek Kamu pada tahun 2014, tabrak lari di Epegeuwodimi Dogiyai pada 2015 yang dilakukan oleh oknum Anggota Kepolisian dan Brimob Polsek Kamu. Semua kasus tersebut telah diadukan oleh masyarakan baik secara tertulis maupun lisan, dalam bentuk laporan yang menggunakan format yang telah ditetapkan, melalui prosedur yang resmi sesuai aturan. Tetapi hingga hari ini, dalam penyelesaiannya oleh pihak-pihak yang berkaitan tidak pernah di realisasikan secara tuntas hingga yang ada saat ini. Dan pelaku pun, senantiasa dapat beraktivitas dengan bebas pada lingkungan sosial tanpa diadili secara adil oleh pihak-pihak yang berkaitan.

Dapat kita lihat dalam mengurus rakyat Papua oleh pemerintah sentral (jakarta) terhadap rakyat Papua melalui mekanisme pengimplementasian kebijaksanaannya terhadap rakyat Papua yang kebanyakan kebijakansanaan tersebut sepenuhnya mengandung kontradiksi-kontradiksi yang isinya bakal membuahkan masalah sosial yang baru terhadap rakyat Papua. singkatnya, kebijaksanaan yang diimplementasikan oleh pemerintah pusat terhadap rakyat Papua adalah kebijaksanaan yang diimplementasikan tanpa mempertimbangkan kenyataan sosial diatas tanah Papua itu sendiri. Karenanya, melihat dari segala jenis kekerasan, pelanggaran HAM sejak pada 01 mei 1963 yang telah dilakukan dan sedang dilakukan oleh aparat hingga saat ini adalah suatu persoalan permasalahan kemanusiaan yang belum pernah diselesaikan oleh pemerintah Indonesia.

Dan sampai kapanpun pemerintah Indonesia tidak akan pernah menyelesaikan segala jenis pelanggaran HAM yang telah terjadi terhadap rakyat Papua, dengan beribu-ribu kasus pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap rakyat Papua. Tidak harus kita persoalkan baik atau buruknya pemerintah Indonesia dalam mengurus rakyat Papua, karena dengan berbagai jenis pelanggaran HAM yang sedang dilakukan dan sudah dilakukan saja, sudah pula menunjukan bahwa pemerintah Indonesia telah salah dan gagal dalam mengurus rakyat Papua sepenuhnya, dalam menjalankan aktivitas ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain.

Aspirasi Fundamental Rakyat Papua

Aspirasi bangsa West Papua dalam menuntut hak-hak dasar rakayat Papua dalam hal  keadilan akan hukum, penuntasan segala jenis kasus pelanggaran ham, pelurusan sejarah integrasi bangsa Papua yang telah dilaksanakan secara cacat hukum dan moral dan lain-lain oleh pemerintah Indonesia, yang oleh rakyat Papua menyebut pemerintah Indonesia sebagai kolonialisme yang sedang menindas dan menjajah bangsa Papua Barat.

Bangsa Papua tidak akan pernah berhenti dalam melaksanakan perjuangannya yang sejak 1963 hingga saat ini, yang mana api perlawanan bangsa Papua tidak pernah berhenti ataupun diberhentikan oleh pemerintah kolonial dengan cara membantai rakyat Papua yang sedang melakukan perlawanan syaraf, damai, bahkan fisik oleh bangsa Papua, dalam mengimplementasikan perlawanan oleh bangsa Papua terhadap pemerintah kolonial. Bangsa Papua tidak pernah berkehendak untuk bersatu dengan Indonesia, keadaan Indonesia dan Papua saat ini ibaratnya sebuah perkawinan paksa yang di lakukan antara sepasang kekasi yang tidak saling cinta dan saling kenal yang dikawini menjadi satu keluarga yang selalu hidup dalam keadaan tidak harmonis. Karenanya, tuntutan bangsa Papua secara politis dalam hal Penentuan Nasip Sendiri Sebagai solusi demokraris bagi rakyat Papua, adalah esensi daripada aspirasi fundamental yang terus di aspirasikan oleh bangsa Papua terhadap publik nasional, internasional dan pada khususnya pemerinta Repulik Indonesia (RI), dimanapun dan sampai kapanpun hingga tercapainya ideal yang dimaksud oleh bangsa West Papua.

Sumber Rverensi:
Selebaran aksi; Fron persatuan rakyat anti militarisme.

Hasil gambar untuk Aspirasi bangsa Papua

PEMBUNUHAN DAN MUTILASI WARGA SIPIL PAPUA

Pembunuhan Dan Mutilasi 4 Warga Sipil  Pembunuhan dan Mutilasi  4 Warga Sipil di Timika adalah kejahatan kemanusiaan, segera tangkap dan Adi...