Senin, 26 November 2018

Intelektualitas Orang Papua Telah Gagal Sebagian


INTELETUALITAS ORANG PAPUA TELAH GAGAL SEBAGIAN

  Oleh: Arnold Ev. Meaga


Etimologi Intelektual

Etimologi intelektual berasal dari bahasa latin interlego atau intelego yang bermakna “aku membaca diantaranya” atau “aku masi uraikan”. Berdasarkan kamus lengkap indonesia yang dimaksud dengan intelektual adalah orang yang mempunyai kecerdasan tinggi (cendikiawan) dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Krel Ernes George mendefinisikan intelektual sebagai orang yang dalam dan intens memikirkan atau menghayati segala sesuatu. Oxford advanced leamer’ distionary memberikan batasan bahwa intelektual adalah orang-orang yang mempunyai atau menunjukan kemampuan nalar yang baik, tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan pikiran seperti kesenian atau ide-ide itu sendiri, mempunyai kemampuan untuk sunggu-sunggu berpikir bebas. Menurut Paul Baran, seorang intelektual pada azasnya adalah seorang pengeritik masyarakat, seseorang yang pekerjaannya mengidentifikasi, manganalisis dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan-rintangan jalan yang menghambat tercapainya susunan-susunan masyarakat yang lebih baik, lebih berperikemanusiaan dan lebih rasional.


Sekolah Yang Di Agungkan Oleh Umat Manusia

Ya, sekolah, ternyata memang bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan yang terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik sebagai pewarisan nilai-nilai, dan akhirnya memang cuma akan menjadi sekedar alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui,  tentu saja, oleh siapa yang berkuasa menentukan apakah nilai-nilai resmi yang mesti berlaku dan direstui, untuk menentukan apakah nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui saat itu dan saat ini.

            Sekolah dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius, misalnya, nation and character building, nilai-nilai resmi itu wajip diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula. Maka, lihatlah; setelah semua anak sekolah diwajipkan berpakaian seragam, menyusul pula kewajiban-kewajiban berseragam lainnya, nyaris dalam segala hal. Dan, itulah yang lebih membuat saya pusing tujuh keliling: pakaian seragam, mata pelajaran seragam, bahasa dan cara bicara seragam, tingkah laku seragam dan, lama kelamaan, wajip seragam pula isi kepala dan isi hati mereka.

         Manusia pada umumnya, sibuk mencari dan menafsirkan segala sesuatu tentang alam raya yang masi belum terpecahkan (ontologi), yang lainnya lagi sibuk melukiskan sesuatu oleh seorang subjek kepada mereka objek tentang hakikat ilmu pengetahuan (epistemologi), sedangkan manusia yang lainnya sibuk menilai hakikat daripada nilai-nilai fundamnental ilmu pengetahuan yang di agung-agungkan oleh umat manusia tersebut (aksiologi). Sebab, apa yang di kritisi oleh kelompok/golongan manusia terhadap segala jenis disiplin ilmu pengetahuan yang ada mereka tak hanya sekedar mengkritisi tanpa bukti konkrit yang ilmia, mereka mengkritisi segala macam disiplin ilmu atas dasar bukti dan data yang konkrit. Oleh sebab itu, pada dasarnya ilmu pengetahuan turut memberikan kontribusi dalam melahirkan segalah macam jenis persoalan sosial yang berfitra dualisme absolut.


Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kuantitatif

Banyak orang-orang Papua yang telah mendapatkan pendidikan yang layak sejak orang-orang Papua tersebut mulai di integrasikan ke dalam bingkai negara kesatuan Repilik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963. Pendidikan yang layak pun di implementasikan oleh pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya untuk mencerdaskan orang-orang Papua, akan tetapi sebaliknya membodohi orang-orang Papua dengan mekanisme pembelajaran yang di ajarkan oleh mereka yang mengajarkan (Guru), kepada mereka yang sedang diajarkan (murid) tersebut.

          Sekarang, jumlah sumber daya orang-orang Papua sudah lebih dari cukup. Dapat kita liaht dalam satu tahun berapa jumlah para sarjanah dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu Sosial, Ilmu Bisnis, Ilmu Teknik, Ilmu hubungan Internasional dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang di dapatkan oleh orang-orang Papua itu sendiri dari masing-masing propinsi dan kabupaten-kabupaten yang ada di seluruh tanah Papua. Karenanya, implikasinya adalah sumber daya manusia Papua dari perpektif kuantitatif sudah lebih dari cukup untuk mengubah tatanan sosial yang timpang. Yang mana tatanan mapan yang destruktif tersebut adalah problem sosial yang harus dikonservasikan oleh agen-agen intelektual asal Papua itu sendiri demi tercapainya kehidupan sosial yang harmonis dan damai diatas tanah Papua bagi umat Tuhan seluruhnya.

         Kesejahteraan, kedamaian dan keharmonisan relasi sosial antara orang-orang di suatu tempat dengan tempat lainnya dapat terlaksana sebagaimana mestinya tergantung jumlah volume sumber daya manusia (SDM), dalam mengkontribusikan idealismenya dalam mengubah suatu tatanan sosial destruktif yang telah mapan. Dalam implementasi, mekanismenya dapat di lakukan dengan berbagai macam metode, bisa juga melalui sistem, bisa juga melalui usaha atau membuka lapangan kerja atas dasar prinsip kolektif, bersosialisasi dll.


Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kualitatif

Barusan telah kita lihat sedikit secara seksama bahwa jumlah sumber daya manusia Papua (SDM-P) sudah sangat cukup. Lalu yang menjadi pertanyaan pokok adalah, apakah dari sekian banyak jumlah volume sumber daya manusia Papua tersebut dari perspektif kualitatif sudah cukup ?

            Dapat kita lihat bahwa, yang saat ini sedang terjadi adalah orang-orang Papua lebih banyak menganyam pendidikan hanya untuk menggapi gelar semata. Esensinya adalah gelar tersebut hanyalah sekedar gelar, gelar tak akan memberikan kontribusi kualitas intelektualitas. Gelar hanyalah sebuah tambahan huruf yang menunjukan kemampuan seseorang pada suatu bidang disiplin ilmu yang sudah seseorang  gapai, yang hakikatnya adalah gelar tersebut hanya menunjukan bahwa kebenaran intelektualitas seseorang itu sendiri. Akan tetapi intelektualitas tersebut tak dapat dibuktikan secara nyata di lapangan.

      Sehingga sumber daya manusia Papua yang beribu-ribu tersebut dari perspektif kuantitatif sudah lebih dari cukup, akan tetapi dari perspektif kualitatif masi belum dari cukup pula. Oleh karena itu, dalam menimbah ilmu dalam berbagai disiplin ilmu yang diperlukan dan yang harus dipenuhi oleh seorang calon intelektualitas adalah penguasaan ilmu tersebut secara kapabilitas, yang pada akhirnya akan terlihat kualitatif dari seorang intelektualitas itu sendiri.


Pengaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Pergolakan antara kaum intelektual asal Papua di atas tanah Papua adalah pergolakan “darah” melalui instrumen politik praktis, politik identitas, politik oportunis dan yang lain-lain. Sebab, apa yang diperjuangkan oleh kaum intelektual bukan untuk memperjuangkan nasip kelompok masyarakat Papua. Intelektualitas hanya dipergunakan sebagai instrumen untuk kembali mengeksploitasi dan menindas masyarakat Papua yang akhirnya akan pula terjadi konflik antar kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Intelektualitas orang-orang Papua yang telah didapatkan melalui lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah Indonesia, dalam mengaplikasikan nya di lapangan, sudah tidak sesuai pula dengan kompotensi yang ia miliki.

        Karena memang, saat ini orang-orang Papua yang berintelektual lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri beserta kelompoknya. Semuanya ikut serta dalam pergolakan politik yang tidak sehat, pergolakan politik yang mengorbankan masyarakat, pergolakan politik yang mengatasnamakan masyarakat dan pergolakan politik yang hanya membuang-buang waktu dan tenaga, serta memperpanjang penderitaan bagi masyarakat Papua. Esensi daripada kaum intelektual yang dalam hal ini pernah menjabat sebagai pemimpin dalam jabatan pada level Gubernur, Bupati, DPR, DPRP, DPD, MRP, Camat dan lain-lain tak pernah memperhatikan nasip dan kesejahteraan masyarakat dalam hal ekonomi, politik, sosial dan budaya. Apalagi memenuhi aspirasi masyarakat Papua. Yang ada saat ini adalah yang menindas dan membuat menderita masyarakat adalah kelompok kaum intelektual itu sendiri melalui sistem yang sedang mereka jalankan tersebut.

            Yang sekarang menjadi masalah fundamental bagi kaum intelektual Papua adalah, Orang yang berlatar belakang pendidikan dengan kompetensi ilmu Teknik dapat terlibat dalam pergolakan politik, yang seharusnya tidak dapat dilakukan olehnya karena memang berpolitik bukanlah kompentensinya. Demikian sebaliknya, orang yang berlatar belakang pendidikannya sebagai seorang politikus tak dapat mengerjakaan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan keteknikan, begitupun orang dengan latar belakang pendidikannya sebagai dokter tak dapat melaksanakan politik karena itu bukan sebagian dari bidangnya dan seterusnya dan seterusnya. Namun dari semua di atas, untuk wilayah Indonesia bagian timur itu (Papua) tak ada yang mustahil, semuanya dapat di laksanakan. Yang artinya, adalah jika satu orang Papua yang berlatar belakang pendidikannya adalah seorang sarjana politik, anggap saja semua hal tentang pengetahuan entah itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain telah di ketahui olehnya walaupun ia hanya seorang sarjana ilmu politik, namun tentang yang lainnya ia serba tau atau serba berpengetahuan.

            Hal serupa, adalah suatu hal yang membuat kaum intelektual asal Papua tersebut menjadi terpecah belah di atas tanah dan negri mereka sendiri, yang mana tanah dan bumi Papua itu sendiri lagi sedang berada dalam keadan menderita. Dan penderitaan tersebut adalah tantangan bagi kaum intelektual Papua untuk bagaimana mengkonservasikannya kembali layaknya semula. Egosentrisme intelektual, masi terprogram secara penuh pada jiwa rasional kaum intelektual Papua, dan hal itu adalah suatu penyakit kaum intelektual Papua yang susah untuk di sembukan secara bertahap. Karena penawar penyakit tersebut hanya ada pada seorang subjek yang berintelektual itu sendiri. Oleh karenanya, Pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua masih belum ada proggresnya dalam menjawab segalah macam permasalahan sosial yang sedang terjadi dan sedang di alami pula oleh masyarakat Papua secara keseluruhan.


Keberhasilan Dalam Pengaaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Dalam hal ini, saya tidak bisa berasumsi kalo sebagian besar kelompok intelektual asal Papua seluruhnya telah berhasil dalam membangun, membinah, mengarahkan, mendidik, mengajarkan, bahkan sampae dengan memanusiakan manusia Papua seluruhnya. Dan saya sebagai orang Papua menyadari bahwa sebagian besar dari seluruh jumlah orang-orang Papua tersebut bukanlah sebagian dari orang-orang yang berintelektual dan berpendidikan sepenuhnya.

       Akan tetapi, sudah dijelaskan di muka bahwa, secara kuantitatif jumlah kelompok orang-orang Papua yang berintelektual sangatlah cukup/sudah sangat cukup pula dibandingkan dengan kelompok orang-orang Papua yang berintelektual pada tahun 60-an. Sedangkan secara kualitatif intelektualitas orang-orang Papua masih belum sampai pada intelektualitas secara kapabilitas. Oleh sebab itu, dalam mengubah tatanan sosial yang destruktif yang mana sedang di alami oleh umat Tuhan di atas tanah Papua tersebut, akan sangat sulit pula. Sebab, yang selama ini dipelajari oleh orang-orang Papua pada khususnya, dan pada umumnya orang-orang Indonesia pada institusi pendidikan yang ada, adalah tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya sedang dialami oleh bangsa Papua dan bangsa Indonesia ini sendiri. Generasi bangsa Indonesia dan Papua moralnya turut serta di hancurkan oleh institusi pendidikan yang sedang ditekuni oleh pelajar yang sedang diajarkan oleh mereka yang mengajarkan tersebut.

       Karenanya, keberhasilan kelompok orang-orang Papua yang berintelektual dalam melayani, mengayomi dan membebaskan seluruh masyarakat Papua dari keadaan kenyataan sosial yang timpang, dan ketidakadilan masih belum sepenuhnya terlaksana secara absolut. Hal ini, telah terlaksana sejak pada awal bangsa Papua di integrasi bersama bangsa Indonesai pada 1963 hingga saat ini. Ada trobosan-trobosan yang telah diimplementasikan oleh kelompok kaum intelektual asal Papua itu sendiri, dalam mengatasi segalah jenis perkara yang sedang timbul dan terjadi diatas tanah Papua tersebut dalam perpolitikan, perekonomian, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain. Namun, apa yang sedang dikerjakan tersebut yang oleh kaum intelektual tidak berjalan secara horizontal (lancar dan maju) akan tetapi semua usaha tersebut berjalan secara evolusioner. Karena pada dasarnya, egosentrisme intelektualitas masi terproggram dengan sangat rapi pada jiwa rasional kelompok kaum intelektual tersebut. Satu hal fundamental, yang hingga saat ini belum juga dilakukan oleh kelompok kaum intelektual Papua adalah belum adanya pemikiran untuk bersatu dalam satu wadah (organisasi) yang akan dipergunakan sebagai instrumen dalam menciptakan sistem produksi sosial ataupun perjuangan pembebasan hak-hak dasar rakyat Papua itu sendiri.

       Sehingga dengan ini, dapat saya asumsikan bahwa kelompok kaum intelektual asal Papua dalam pengaplikasian intelektualitasnya di lapangan tidak dapat dikatakan sangat proggresif. Akan tetapi, semua pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua dilapangan masih sedang berkembang dan sedang berjalan secara evolusioner, namun itu bukan berarti akan mengalami kegagalan. Sebab, semuanya akan menuai hasilnya dikemudian hari, dan sebuah keberhasilan pengaplikasian suatu intelektualitas adalah suatu perjuangan yang harus diperjuangkan secara fisik dan akal sehat seorang intelektual tersebut. Dan saya menyadari bahwa, apa yang sedang diperjuangkan oleh kelompok komunitas orang-orang intelektual asal Papua tersebut semakin proggresif saat ini, yang dimulai dari, tokoh-tokoh Agama, mahasiswa, tokoh-tokoh adat, serta mereka orang-orang yang berada dalam sistem birokrasi, rakyat sipil, dan lain-lain.

       Ada suatu trobosan yang baru-baru ini yang dibuat oleh kelompok agen intelektual Papua yang terdiri dari beberapa oraganisasi revolusioner yang telah bergabung menjadi satu-kesatuan dalam satu wadah yang dinamai oleh beberapa organ tersebut yang kita kenal dengan sebutan " Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua" yang selanjutnya disingkat dengan "SEPAHAM". Terbentuknya organ gerakan tersebut tidak terlepas dari bentuk-bentuk penindasan, pengeksploitasian SDA besar-pesaran, penghisapan dan lain-lain yang sedang maraknya diimplementasikan oleh penjajah kolonial dan imperialisme dibawah hegemoni militarisme atas bumi Papua dan manusia Papua tersebut. Sehingga, dengan melihat kondisi-kondisi ini, bahkan sudah adanya banyak gerakan-gekan mahasiswa Papua yang berfokus dengan berbagai isu, mulai dari isu hak penentuan nasib sendiri, hingga isu-isu sektoral, mulai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-Papua), serta Solidaritas Nasional, Mahasiswa, dan Pemuda Papua Barat (SONAMAPPA), telah melakukan konferensi bersama yang mana telah melahirkan sebuah gerakan persatuan yaitu Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham). Terbentuknya organ (SEPAHAM) pada  15 November 2018, kalao tidak salah. Jiak salah tanggalnya mohon untuk diklarifikasi melalui komentar anda. Terbentuknya wadah gerakan ini adalah suatu gagasan brilian dan sangat progresif yang pernah dibentuk dan dipikirkan oleh kelompok agen inteletual Papua yang ada. Dan hal tersebut adalah wujud daripada kemajuan rakyat bangsa Papua dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan militarisme yang sedang mempraktikan penjajahan atas bangsa Papua barat itu sendiri.


Kegagalan Dalam Pengaplikasian Intelektualitas Di Lapangan

Jika di tinjau lagi di lapangan secara langsung apakah para intelektualitas Papua tersebut sudah berhasil atau tidak dalam menjawab problem sosial secara menyeluruh atau tidak, maka dapat dikatakan tidak. Karena yang ada, adalah kehidupan masyarakat Papua saling berhadapan dengan ganasnya aparat TNI/POLRI  yang setiap saat melaksanakan tindakan persekusi terhadap masyarakat Papua. Yang oleh tindakan aparat negara tersebut telah banyak mendatangkan bencana pelanggaran HAM besar-besaran terhadap masyarakat Papua. Yang menjadi pertanyaan pokok adalah, kemana semua para sarjana hukum asal Papua itu ? Sampai dimanakah kerja-kerja mereka para sarjana hukum asal Papua itu, ketika terjadi pelanggaran HAM secara bertahap terhadap masyarakat Papua tersebut ? Beribu-ribu kasus HAM Papua yang tertumpuk, bagian kasus HAM mana yang oleh para sarjana hukum asal Papua tersebut sudah menyelesaikannya secara tuntas dan bertahap ? Hingga saat ini pelaku kasus pelanggaran HAM masi tetap diberikan hak impunitas oleh otoritas negara. Dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa, para sarjana hukum asal Papua belumlah evektif dalam mengerjakan apa yang menjadi bagiannya dan apa yang harus dikerjakan olehnya sebagaimana mestinya sesuai kompetensinya. Dan itu menjadi tantangan kedepan untuk bagaimana meluruskan barisan (Bersatu) bagi para sarjana hukum asal Papua tersebut untuk lebih proggresif dalam mengangkat isu kemanusiaan dan berbicara keadilan bagi mereka yang membutuhkan keadilan yang hakiki.

            Dan bagaimana dengan para sarjana Kesejahteraan Sosial asal Papua itu ? apakah mereka sudah sesuai melaksanakan tugas dan fungsinya di lapangan atau tidak ? dalam membimbing masyarakat Papua untuk hidup lebih baik tanpa konflik, tanpa kecemburuan sosial antara masyarakat Papua (Pribumi) dengan masyarakat pendatang (Non-Papua), dan bagaimana cara melakukan aktivitas sosial berdasarkan etika-etika sosial dan budaya. Dapat di katakan bahwa, para sarjana Kesejahteraan Sosial masih belum efektif dalam menjalankan tugasnya di lapangan secara nyata. Sehingga hal tersebut adalah telah gagalnya intelektualitas yang dimiliki oleh para sarjana tersebut. oleh karena itu, tantangan bagi para sarjana Kesejahteraan Sosial adalah bagaimana membinah, mendidik dan mensosialisasikan kepada masyarakat antara yang baik dan tidak baik, atau apa yang harus dilakukan oleh masyarakat dan yang tidak harus dilakukan oleh masyarakat tersebut secara bertahap pada setiap daerah yang harus di berikan arahan tentang hal-hal yang positif dan negatif bagi masyarakat Papua. Karena gagalnya pengaplikasian pengetahuan tersebut di lapangan sehingga masyarakat tersebut akan dengan mudah untuk di manipulasi atau di hasut oleh kelompok-kelompok tertentu.

          Contoh khasus yang baru saja terjadi adalah pemberian hibah 90 hektare tanah yang oleh kepala suku yang bernama “Alex Doga” anak dari kepala suku “Silo Sukarno Doga” kepada TNI-AD di Jayawijaya (Wamena) tepat pada 26, Sepetember, 2018. Beliao kepala suku “Silo Sukarno Doga” adalah salah satu kepala suku selain “Kurulu Mabel”, dan “Ukum Hearik Aso” yang mengambil peran penting dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakayat (PEPERA) 1969 pada saat itu. Singkatnya merekalah kelompok orang-orang yang berpengaruh yang hakikatnya pro terhadap pemerintah kolonial Indonesia. Dan yang sudah terjadi atas hal pemberian tanah tersebut adalah keberhasilan pihak aparat dalam mensosialisasi kan tujuan mereka sekaligus maghasut masyarakat yang didalamnya adalah kepalah suku sebagai objekenya. Jika para sarjana Kesejahteraan Sosial ataupun para Intelektual asal Papua lebih dulu telah memberikan pemahaman yang baik melalui sosialisasi terhadap masyarakat tersebut maka masyarakat tersebut tak akan mudah untuk di hasut ataupun di manipulasi dengan berbagai macam cara. Dan kejadian seperti hal diatas kemungkinan besar tak dapat terjadi pula.

        Sedangkan para sarjana ilmu Pemerintahan asal Papua yang jumlahnya sangat banyak itu, bagaimana dengan aktivitas mereka sehari-hari dalam menjalankan kerja-kerja mereka dalam sistem pemerintahan dan diluar dari sistem pemerintahan ? ada sebagian para sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua yang bekerja dalam sistem pemerintahan yang tiap-tiap saat mengatur tentang manajemen dan penegendalian sistem pemerintahan, namun sampai saat ini masih banyak pula pengangguran para sarjana asal Papua itu sendiri. Lalu akan bagaimana nasip para sarjana yang menganggur tersebut ? jika para sarjana asal Papua yang telah berada pada posisi aman dalam sistem pemerintahan tak bisa membuat sesuatu dan tetap saja ambil sikap apatis, serta tak mau membantu para sarjana asal Papua lainnya yang berstatus penganggur tersebut untuk mendapatkan hak mereka layaknya para sarjana lainnya, maka itu adalah suatu kegagalan para sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua tersebut. Dengan adanya keberadaan mereka dalam sistem pemerintahan tersebut sehingga kesempatan tersebut dapat di manfaatkan sebaik-baiknya untuk bagaimana orang-orang Papua di masukan sebanyak-banyaknya dalam sistem pemerintahan yang ada, sebab orang-orang Papua sudah harus di prioritaskan dalam sistem pemerintahan yang ada di atas tanah Papua. Akan tetapi, yang terjadi saat ini adalah sebagian besar para sarjana asal Papua terdiri dari pengangguran yang terbengkalai begitu saja. Dan hal demikian adalah kegagalan total orang-orang Papua yang berintelektual yang sedang beraktivitas dalam sistem pemerintahan yang ada.

          Lalu bagaimana dengan para Sarjana Kesehatan asal Papua yang saat ini dapat dikatakan sudah cukup pula jumlahnya. Apa yang sudah mereka kerjakan terhadap kesehatan masyarakat Papua ? yang hingga saat ini tingkat kematian yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit, kurangnya gizi/gizi buruk, kematian ibu dan anak meningkat di seluruh pelosok bumi Papua. Adakah hasil riset-riset ilmia secara langsung dilapangan terkait sebab, akibat atau asal-usul penyakit yang diderita oleh masayarakat Papua oleh para sarjana Kesehatan tersebut ? adakah solusi-solusi yang di tawarkan oleh para sarjana kesehatan tersebut kepada pemerintah Papua untuk di tindak lanjuti lebih lanjut ? terkait kesehatan masyarakat Papua itu sendiri.

           Kenyataanya kebanyakan para sarjana kesehatan asal Papua tersebut lebih memilih tempat-tempat yang terhormat, lebih memilih untuk di hargai martabatnya sebagai seorang dokter atau ahli kesehatan. Tidak ada yang memilih untuk melayani masyarakat yang ada di pedesaan, atau singkatnya masyarakat yang berada jauh dari jangkauan wilayah perkotaan dan sekitarnya. Sehingga hal tersebut ialah sebuah kegagalan yang harus diperhatikan dan di perbaiki pula oleh para sarjana kesehatan untuk bagaimana menjawab tantangan-tantangan kesehatan masyarakat Papua yang belum pula di selesaikan oleh para sarjana kesehatan terdahulu.

           Lalu bagaimana dengan para intelektualitas yang terdiri dari para guru asal Papua itu sendiri ? yang hingga kini, pada dasarnya penyakit kebodohan itu masi melekat pada semua generasi orang-orang Papua itu sendiri. Kebodohan yang masih diderita oleh semua orang-orang Papua tersebut tak pernah dipertanyakan oleh kelompok intelektual Papua yang ada. Mereka membiarkan kebodohan tersebut tetap menguasai generasi orang-orang Papua hingga kini. Oleh karenanya, apa yang telah dilakukan oleh para guru asal Papua itu ? Dalam mencerdaskan generasi orang-orang Papua. Yang ada, hanyalah para guru tersebut tidak pernah mengabdi dengan sungguh-sungguh dalam mendidik dan mencerdaskan generasi orang-orang Papua tersebut. Dan para guru asal Papua tersebut turut serta dalam memberikan kontribusi penyakit kebodohan kepada generasi orang-orang Papua, yang mana generasi orang-orang Papua tersebut senantiasa dididik, dibina, diajarkan dan diarahkan pikirannya pada hal-hal yang hakikatnya tak diketahui oleh para murid yang sedang menerima ilmu pengetahuan tersebut melalui para guru yang bukan pula orang asli Papua itu sendiri. Namun apa yang diajarkan oleh para guru migran tidak semuanya mengajarkan murid untuk bagaimana membodohi murid tersebut. Oleh karena itu, yang mempunyai peran penting dalam mencerdaskan suatu bangsa sepenuhnya ada pada peran guru yang selalu mengambil peran penting tanpa jasah. Jika para guru memiliki rasa patriotisme yang tinggi niscaya ia akan melakukan apa yang menjadi tugasnya sebagai seorang guru dalam mencerdaskan bangsanya dengan sungguh-sungguh, dan guru seperti ini memiliki target khusus dalam memdidik dan mencerdaskan suatu bangsa yang adalah sebagian daripada bangsanya sendiri.

            Dan bagaimana dengan para sarjana ekonomi yang jumlahnya tak kalah banyak itu ? Banyak orang-orang Papua yang terdiri dari sarjana ekonomi, tetapi yang menjadi pertanyaan pokok disini adalah, bagaimana kemiskinan itu masih tetap merajalela di seluruh pelosok bumi Papua tersebut ? Apakah ada riset-riset ilmia berdasarkan observasi langsung di lapangan yang berhubungan dengan penyebab kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi yang hingga kini masi tetap merengut orang-orang Papua tersebut ? yang hingga saat ini, tak ada suatu trobosan fundamental yang telah dilakukan oleh para sarjana ekonomi asal Papua tersebut untuk bagaimana bersama rakyat membuat suatu draf sistem produksi, ataupun membuat kegiatan-kegiatan dalam mendidik masyarakat untuk mengembangkan ekonomi mandiri bagi rakyat untuk bagaimana mereka bersaing secara akal sehat dalam hal ekonomi. Akan tetapi, karena hal serupa adalah sebagian daripada kegagalan para sarjana ekonomi asal Papua itu sendiri, namun bukan berarti semuanya telah gagal total, yang hingga kini, mungkin ada sebagian dari para sarjana ekonomi asal Papua tersebut sedang dalam proses perencanaan draf sistem produksi bersama rakyat. Untuk mengeluarkan rakyat dari ketimpangan ekonimi yang ada. Dalam hal ini, peran bagi para sarjana ekonomi adalah sangat fundamental, dan yang harus dilakukan oleh para sarjana ekonomi asal Papua adalah dengan cara membangun konstruksi persatuan antara para sarjana ekonomi itu sendiri. Setelahnya tinggal bagaimana mereka berpikir untuk menguasai ekonomi Papua secarah penuh. sehingga, dengan ini janganlah pelihara penyakit egosentrisme intelektualitas.

            Yang lebih jelasnya lagi, dari semua para agen Intelektual asal Papua dari berbagai disiplin ilmu yang ada saat ini, adalah belum dewasa dalam memandang realitas sosial yang sedang di alami oleh seluruh masyarakat Papua dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan dan lain-lain. Dan karenanya, belum dewasa pula dalam menjalankan kompetensinya secara langsung dilapangan, sehingga para agen intelektual tersebut tak dapat pula mengubah tatanan sosial yang mapan. Kiranya dapat di ulangi lagi perkataan awal adalah penyakit egosentrisme intelektualitas masi mengakar pada jiwa rasional manusia Papua. Oleh karena itu, intelektualitas tanpa praksis sama halnya dengan tak menghasilkan suatu perubahan, demikian sebaliknya, suatu perubahan tanpa praksis sama halnya dengan tak menghasilkan suatu perubanan pula. Perubahan membutuhkan persatuan dan solidaritas dari para agen intelektual, dalam menyusun draf stratak untuk mengubah tatanan sosial yang berfitra destruktif absolut. Maka, tugas daripada para intelektual Papua adalah bersatu dan segera membentuk konfigurasi komunitas dari setiap para sarjana yang ada dari berbagai didiplin ilmu. Dan masing-masing dapat jalan sesuai dengan fungsinya, yang artinya saling bergotong royong dalam implementasi aktivitas kemanusiaan dan sejenisnya bagi masyarakat Papua.


Sebab Dari Semua

Kurangnya peran dari para agen intelektual yang berasal dari orang-orang Papua itu sendiri, tentunya sangat membawa dampak yang cukup signifikan pada masyarakat Papua yang sebagian besar masih berada dalam keadaan tak sadar akan kenyataan sosial yang sedang dialami olehnya sendiri. Masyarakat Papua tak tau bahwa sebenarnya ia adalah objek yang dikendalikan, dikontrol ataupun diawasi atau, subjek yang mengontrol dan mengendalikan sektor-sektor fundamental macam politik, ekonomi dan lain-lain. Esensinya ialah, masyarakat Papua adalah objek yang telah diobjekkan oleh negara sentral (Jakarta). Sehingga masyarakat Papua maupun pemerintah Papua semuanya adalah objek yang senantiasa dipantau, diawasi, dikontrol, dan dikendalikan melalui mekanisme sistem yang di teruskan oleh jakarta terhadap Papua. Oleh sebab itu, dalam hal ini peran para agen intelektual sangat penting dan sangat mendesak pula dalam menyampaikan hakikat daripada kenyataan sosial saat ini kepada masyarakat Papua seluruhnya. Kenyataan yang destruktif yang mana sedang dialami oleh masyarakat Papua saat ini, faktor utamanya ada pada para kaum intelektual Papua itu sendiri. Jika para agen intelektual tetap mengambil bagian menjadi agen intelektual yang apatis, maka keadaan kehidupan masyarakat Papua tersebut akan tetap berada dalam keadaan hancur-hancuran seperti yang ada saat ini.


Akibat Dari Semua

Akibat dari semua sebab daripada keberhasilan dan juga kegagalan pengaplikasian intelektualitas yang oleh para agen intelektual dari Papua itu sendiri telah saya bicarakan panjang lebar diatas. Dan dampaknya pun sangat banyak dan berheterogen pula yang dialami oleh masyarakat Papua tersebut. Implikasinya adalah keberhasilan daripada pengaplikasian intelektualitas di lapangan secara nyata masih belum efektif untuk seluruh bumi Papua.


Penutup

Kita sebagai agen intelektual Papua tidak pernah berpikir untuk merencanakan draf konstruksi persatuan untuk menciptakan revolusi intelektual. Sebab, revolusi intelektulal adalah suatu gerakan yang harus di implementasikan oleh para agen intelektual untuk mengubah tatanan sosial yang korup dan menindas. Seperti gerakan reformasi pada 1998 yang dimotori oleh sebagian besar golongan intelektual yang terdiri dari mahasiswa dan lain-lain, yang pada akhirnya sebuah rezim yang otoritarian di gulingkan dari tempuk kekuasaannya. Oleh sebab itu, peran para agen intelektual yang ada di Papua sangatlah pokok dalam membimbing masyarakat, mengarahkan masyarakat, mendidik masyarakat akan etika sosial dan budaya, membangun sistem produksi bersama masyarakat, melakukan sesuatu bagi kepentingan masyarakat, dan masi banyak hal yang harus para agen intelektual kerjakan dalam memenuhi kepentingan masyarakat Papua tersebut. Karena itu, untuk implementasinya tidak bisa secara individu/personal akan tetapi harus pula secara kolektif oleh mereka para golongan intelektual asal Papua tersebut. Kita jangan mempertahankan egosentrisme kita kaum intelektual, karena itu penyakit yang mematikan intelektual kita dan membuat kita bertamba bodoh dan dungu.

Sumber Referensi:
Sekolah itu canduh; sekolah yang diagungkan oleh umat manusia
http://puntodewoblogspotcom.blogspot.com/2012/05/revolusi-intelektual-sebagai-dasar.html


PEMBUNUHAN DAN MUTILASI WARGA SIPIL PAPUA

Pembunuhan Dan Mutilasi 4 Warga Sipil  Pembunuhan dan Mutilasi  4 Warga Sipil di Timika adalah kejahatan kemanusiaan, segera tangkap dan Adi...