Sabtu, 17 Agustus 2019

Penyelesaian HAM Papua Mustahil Di Tuntaskan Oleh Pemerintah Indonesia



PENYELESAIAN HAM PAPUA MUSTAHIL DI TUNTASKAN OLEH PEMERINTAH INDONESIA

Oleh: Arnold  Meaga

Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar "yang seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia", dan yang "melekat pada semua manusia"  terlepas dari bangsa, lokasi, bahasa, agama, asal-usul etnis atau status lainnya. Ini berlaku di mana-mana dan pada setiap kali dalam arti yang universal, dan ini egaliter dalam arti yang sama bagi setiap orang. HAM membutuhkan empati dan aturan hukum dan memaksakan kewajiban pada orang untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain. Mereka tidak harus diambil kecuali sebagai hasil dari proses hukum berdasarkan keadaan tertentu misalnya, hak asasi manusia mungkin termasuk kebebasan dari penjara melanggar hukum , penyiksaan, dan eksekusi.

Doktrin dari hak asasi manusia sangat berpengaruh dalam hukum internasional, lembaga-lembaga global dan regional. Tindakan oleh negara-negara dan organisasi-organisasi non-pemerintah membentuk dasar dari kebijakan publik di seluruh dunia. Ide HAM menunjukkan bahwa "jika wacana publik dari masyarakat global mengenai perdamaian dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu merujuk ke hak asasi manusia." Klaim yang kuat yang dibuat oleh doktrin hak asasi manusia terus memprovokasi skeptisisme yang cukup besar dan perdebatan tentang isi, sifat dan pembenaran hak asasi manusia sampai hari ini. Arti yang tepat dari hak asasi memicu kontroversial dan merupakan subyek perdebatan filosofis yang berkelanjutan sementara ada konsensus bahwa hak asasi manusia meliputi berbagai hak  seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil, perlindungan terhadap perbudakan, larangan genosida, kebebasan berbicara, atau hak atas pendidikan, ada ketidaksetujuan tentang mana yang hak tertentu harus dimasukkan dalam kerangka umum hak asasi manusia beberapa pemikir menunjukkan bahwa hak asasi manusia harus menjadi persyaratan minimum untuk menghindari pelanggaran terburuk, sementara yang lain melihatnya sebagai standar yang lebih tinggi.

HAM Tidak Berlaku Bagi Bangsa Papua Barat
Bentuk daripada HAM itu sendiri telah disampaikan di muka bahwa, HAM adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional secara universal. Oleh sebab itu, HAM berlaku bagi semua makluk manusia yang sedang hidup di bumi ini kecuali bagi manusia yang telah tiada dari kehidupan di bumi ini (Meninggal).

Bangsa Indonesia memiliki hak untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan kolonialisme secara politik ataupun fisik karena bangsa penjajah tidak memiliki hak untuk mengatur nasip hidupnya manusia lainnya ataupun suatu bangsa. Karena itu jiak bangsa Indonesia yang berjuta-juta tersebut bangkit nasionalismenya dan melawan penjajah kolonial maka itu adalah haknya bangsa Indonesia tersebut. Sebab, yang melakukan perlawanan yang oleh bangsa Indonesia atas bangsa penjajah tersebut di lakukan secara individu yang kemudian dari individu tersebut berkumpul menjadi sati-kesatuan yang besar dan solit dalam melakukan perlawanan terhadap bangsa paenjajah. Sebab, setiap individu yang bergabung menjadi satu-kesatuan yang besar tersebut memiliki hak asasinya sebagai manusia yang berhak dalam melawan dan mengusir bangsa penjajah kolonial.

Demikian pula bangsa Papua Barat memiliki hak asasi yang sama dengan bangsa Indonesia. Bangsa Papua barat selagi masih dijajah oleh bangsa kolonial yang pertama (Belanda), hak asasi manusia Papua sangatlah dihormati, martabat manusia Papua dan lain-lain. Oleh kerenya, hak asasi manusia Papua pada zaman penjajahan kolonial yang pertama dengan yang kedua sangat berbeda jauh hak asasinya manusia Papua tersebut. Hak asasi manusia Papua dalam berpolitik, berekonomi, bersosial dan berbudaya sangat dihormati dan dihargai oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai penjajah Papua yang pertama, bahkan bangsa Papua di izinkan untuk melaksanakan politik dalam menentukan nasipnya sendiri sebagai bangsa Papua yang merdeka dan berdaulat layaknya bangsa-bangsa lainnya yang ada di muka bumi ini.

Akan tetapi setelah bangsa kolonial pertama selesai menjajah bangsa Papua keluar dari bumi Papua, dan selanjutnya bangsa Papua mulai dijajah oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa kolonial yang kedua. Setelah awal integrasi Papua pada 1963 yang penuh dengan intimidatif dan manipulatif tersebut setelahnya bangsa Papua sah menjadi bagian dari Indonesia. Sejak 1963 awal integrasi Papua itulah hak asasi manusia Papua tiada pula berlaku lagi atau diberlakukan oleh pemerintah kolonial (Indonesia) tersebut. Hak asasi manusia Papua dalam dunia perpolitikan, perekonomian, kebudayaan dan sosial serta hak hidup manusia Papua diatas negrinya sendiri senantiasa di tutup hak asasinya. Bahkan dibawa pemerintahan kolonialisme Indonesia hak hidup bagi bangsa Papua sudah pula tiada jaminannya, haknya pun atas tanah-tanah adat dan lain-lain sudah tiada pula bagi orang-orang Papua. Ham bagi bangsa Papua tidak berlaku sama sekali, bangsa Papua tidak mengenal ham, karena ham telah di tiadakan di atas tanah Papua terhadap manusianya. Harkat orang-orang Papua di rendahkan oleh bangsa kolonial, sebab, seluruh bangsa Papua barat tidak memiliki hak asasinya secara individu ataupun universal. Oleh kerena itu, kehidupan bangsa Papua dengan Indonesia saat ini bagi bangsa Papua adalah ibarat hidup dalam api neraka yang senantiasa hidup dibawah penderitaan secara terus-menerus.

Data Korban Kasus (HAM) Papua
Dalam hal ini, saya tidak akan menyusun seluruh kasus ham yang pernah dilakukan oleh Indonesia (kolonial) yang sejak pada tahun 60an hingga saat ini. Sebab jika dapat saya susun secara keseluruhan (konkrit) terkait kasus ham Papua maka akan membuat anda yang mulia (pembaca) cape dan bosan melihat isi secara keseluruhan kasus ham yang telah disusun. Sehingga saya hanya akan memuat yang penting-penting saja yang jumlah korban hamnya cukup signifikan dari kausalitas tindakan aparat militer kolonial Indonesia itu sendiri terhadap bangsa Papua barat, karena itu susunan data ham ini disusun secara acak tidak hirarkis dan berdasarkan urutan tahun.

Sepanjang 2011, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejumlah praktek kekerasan dan patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM yang berat di Papua. Sebanyak 52 peristiwa kekerasan dengan 52 orang meninggal, 59 luka-luka. Termasuk diantara mereka berasal dari TNI dan Polri. Hampir berbanding lurus, angka kekerasan tersebut diiringi dengan angka yang hampir mirip dari ketiadaan penegakan hukum dari kasus-kasus tersebut. Pada November 2011, KontraS, perwakilan mahasiswa Papua, Foker LSM Papua, KAMPAK dan Perwakilan Pekerja PT Freeport pernah diundang ke Komisi I DPR RI dan mengadakan kunjungan ke Mabes Polri yang diterima oleh Waka. Polri, Sdr. Nanan Soekarna, Saud Usman dan sejumlah petinggi Mabes Polri. Dari pertemuan-pertemuan tersebut disampaikan data-data kekerasan yang terjadi di Papua selama beberapa bulan pada 2011. Sayangnya, tindakan tersebut tidak memberikan implikasi pada penurunan kekerasan di Papua. Dalam konteks Pemilukada pun, sejumlah organisasi yang sama yang disebutkan diatas, juga melakukan pertemuan dengan Panwaslu di Jakarta, mendesak agar Panwaslu optimal melakukan pemantauan dan membuat sebuah terobosan atas rangkaian kekerasan dalam sengketa Pemilukada yang berujung kekerasan. Sama, hasilnya nihil sejauh ini. Sementara di Papua, dialog hanya dilakukan lewat institusi perwakilan masyarakat di Papua seperti DPRP.

Memasuki 2012 kekerasan dengan dugaan terjadi pelanggaran HAM yang berat kembali terjadi dengan stabil dari satu kasus ke kasus lainnya. Dalam catatan Kontras, Foker LSM dan NAPAS telah terjadi 34 peristiwa kekerasan an mengakibatkan korban sebanyak 17 meninggal dan 29 orang luka-luka. Jumlah ini termasuk korban dari kalangan TNI dan Polri. Dari sejumlah kasus tersebut patut dicatat berbagai kejanggalan dari sikap, pernyataan dan kebijakan pemerintah, pihak kepolisian dan maupun pihak TNI.

Pelanggaran HAM Oleh Polisi
1. Penembakan Mako Tabuni, Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Pada tanggal 6 Juni 2012, sekitar pukul 09.00 Wit, Polisi menembak Mako Tabuni di depan Gereja Masehi Advent, Perumnas III Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua. Kejadian bermula ketika Polisi berusaha menangkap Mako yang sedang berada di sekitar kampus Universitas Cendrawasih Wamena. Berdasarkan informasi lapangan Mako dibuntuti oleh Polisi dengan mobil, salah satu mobil terindentifikasi jenis TAFT warna hitam dengan Nopol DS 447 AJ. Polisi turun dari mobil mencegat Mako dengan senjata dan langsung menembak di kaki. Keterangan Polisi, Mako ditembak dikaki karena berusaha melawan saat ditangkap. Polisi menangkap Mako atas tuduhan terlibat pelaku kekerasan di Papua. Namun fakta lapangan berdasarkan keterangan saksi, Mako tidak melakukan perlawanan. Bahkan Mako berusaha lari menyelamatkan diri setelah Polisi menembak di kaki, tapi kemudian Polisi menembak lagi di kepala hingga tewas.

Setelah peristiwa itu, masyarakat mengamuk membakar ruko, 3 mobil dan 15 motor (foto terlampir). Warga yang berada di lokasi sempat menghubungi Polisi untuk menangani tindakan brutal, tapi tidak ada polisi yang datang. Setelah api dipadamkan oleh warga, sekitar 1 jam kemudian baru Polisi, Brimob dan TNI mendadatangi ke lokasi kejadian. Sampai saat ini belum ada satu pun pelaku yang menembak Mako di proses secara hukum.

2. Penembakan Melianus Kegepe, Selvius Kegepe, Amos Kegepe, Lukas Kegepe, Yulianus Kegepe di Lokasi 45 Degeuwo, Desa Nomouwo, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai Papua.
Personil Brimob BKO Polda Papua, Pos Emas 99, beberapa personil teridentifikasi bernama Briptu Ferianto, Bripda Agus, Bripda Edi menembak 5 warga di lokasi Biliar Daerah 45 Degeuwo, Desa Nomouwo, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Papua, pada tanggal 15 Mei 2012, sekitar pukul 06.00 Wit. Kejadian bermula ketika Selpius Kegepe, Lukas Kegepe, Amos Kegepe, dan Markus Kegepe mendatangi tempat biliar untuk bermain biliar di lokasi 45. Namun pemilik biliar, Mama Waloni melarang mereka bermain. Keempat orang itu tetap bermain dengan mengambil sendiri bola biliar. Mama Waloni tidak terima kemudian menelpon Pos Brimob yang terletak di lokasi emas 99, sekitar 800 meter dari tempat biliar. Sektika personil Brimob mendatangi lokasi biliar dengan membawa senjata, lengkap helm baja dan baju anti peluru.

Saat Brimob datang, Lukas dan kawan-kawan keluar dari tempat biliar. Saat keluar Lukas mengeluarkan kata-kata “kamu datang cari makan di atas paha saya.” Kata-kata itu memancing emosi personil Brimob sehingga terjadi pemukulan terhadap Lukas dibagian mulut. Melianus Kegepe yang berada di rumahnya membawa balok mengejar personil Brimob yang memukul Lukas. Personil Brimob yang lain langsung menembak Melianus Kegepe dibagian perut hingga tewas. Personil Brimob juga menembak Amos Kegepe di kaki kiri dan betis kanan. Selvius Kegepe ditembak di lengan kanan. Lukas Kegepe ditembak di rusuk, dan Yulianus Kegepe ditembak dibagian punggung. Keempat orang ini mengalami luka kritis dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura. Anggota Brimob pelaku penembakan terhadap 5 warga itu sampai saat ini lepas dari proses hukum.

3. Pembubaran Paksa aksi KNPB oleh aparat kepolisian menyebabkan 1 orang tewas ditembak, 2 orang mengalami penyiksaan dan 43 orang ditangkap semena-mena.
Pada 4 Juni 2012, aparat gabungan Polisi dan TNI membubar paksa aksi KNPB dengan alasan tidak memiliki izin demontrasi. Hari itu, massa KNPB melakukan aksi menuntut penegakan hukum terhadap serangkain tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Namun aparat menghadang dengan senjata dan menyiksa massa saat sedang menuju titik sentral aksi, di Sentani, Expo dan Kota Madja Jayapura. Dalam peristiwa itu, Yesa Mirin tewas ditembak, Fanuel Taplo, Tanius Kalakmabin kritis disiksa dan 43 orang ditangkap oleh Polisi.

A. Pelanggaran HAM Oleh Militer
Penyerangan warga Wamena, Kabupaten Jayawijaya oleh TNI Batalyon Yonif 756 Wimane Sili/WMS, pada 6 Juni 2012, sekitar pukul 10.00 wib. Dalam penyerangan tersebut, Elinus Yoman tewas ditikam dengan pisau sangkur, dan 13 orang luka-luka ditikam dikepala, punggung, lutut, tangan, paha, dan beberapa bagian tubuh lainnya. Selain itu, TNI juga membakar 1 mobil, 2 rusak, 8 motor dibakar, 31 rumah warga dan 24 bangunan rumah sehat dibakar, 9 tempat usaha (kios) dibakar, dan 23 rumah sehat dirusak. Penyerangan terhadap warga tersebut sebagai bentuk balas dendam terkait pengeroyokan dua teman mereka, Pratu Ahmad Sahlan (tewas) dan Prada Parloi Pardede (kritis) oleh warga Wamena. Kejadian pengeroyokan terhadap dua anggota TNI tersebut terjadi karena anggota TNI tersebut menabrak seorang anak bernama Kevid Wanimbo di jalan Kampung Honelama.

B. Penembakan/Pembunuhan Misterius (Petrus) selama Januari-Juni 2012
Selain itu, kami juga mencatat pada bulan Januari sampai Juni 2012, insiden Penembakan Misterius (Petrus) meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan kami, tahun 2011 terjadi 13 peristiwa, 1 peristiwa terjadi tahun 2010 dan 12 peristiwa tahun 2009. Sementara pada tahun 2012, terhitung dari Januari sampai 11 Juni 2012, telah terjadi 18 peristiwa penembakan yang mengakibatkan setidaknya 7 warga sipil, satu jurnalis meninggal dan 10 orang 4 mengalami luka kritis, termasuk warga negara asing Jerman Dietman Pieper (29/05). Namun hampir semua korban ditembak di tempat yang mematikan, seperti di bagian kepala, dada, leher, wajah dan punggung tembus ke dada. Selain itu, pelaku juga menyasar korban secara acak, termasuk TNI dan Polisi.

Beberapa kasus ham diatas adalah sepenuhnya tindakan aparat militer dan juga polisi Indonesia terhadap rakyat sipil di Papua. Kematian Pak Thedorus Hiyo Eluay pada 10 November 2001 adalah murni tindakan aparat negara termasuk penghilangan sopirnya yang bernama Aristoteles Masoka. Dan pada 8 Desember 2014 4 (empat) orang siswa SMA di tembak mati oleh aparat militer. Yang hingga kini kasus tersebut telah dilupakan oleh otoritas negara kolonial (Indonesia).

C. Kasus Pengibaran Bendera Yalengga (2010)
Pada tanggal 20 November 2010, setidaknya ada 6 laki-laki yang ditahan ketika mereka sedang menuju sebuah pemakaman di desa Piramis di dekat Distrik Bokondini di Kabupaten Tolikara. Korban dilaporkan jatuh sakit setelah disiksa oleh polisi beberapa bulan sebelumnya dan akhirnya meninggal dunia. Meki Elosak, Wiki Meaga, Obeth Kosay, Oskar Hilago, Meki Tabuni, Wombi Tabuni, Pastor Ali Jikwa dan Peres Tabuni disiksa ketika ditahan karena dilaporkan memiliki bendera Bintang Kejora. Pada bulan April 2014, bukti foto terkait perlakuan merendahkan martabat terhadap 6 orang ini disebarkan di media sosial.

Foto yang telah diverifikasi oleh Meki Elosak selama wawancara dengan LSM berbasis di Jayapura, ALDP, menunjukkan para pria terbaring di sebuah selokan. Elosak menjelaskan bahwa mereka dipaksa untuk berguling berkali-kali di selokan berlumpur yang cukup luas oleh polisi dari distrik Bolakme di provinsi Jayawijaya. Dia bersaksi bawa petugas polisi menggunakan moncong senjata untuk mematahkan hidungnya ketika dia terbaring di selokan. Dia juga menyatakan bahwa beberapa petugas polisi merekam seluruh kejadian dengan telepon genggam mereka. Enam orang tersebut dihukum 6 tahun penjara karena tuduhan makar. Meki Elosak dan Wiki Meaga masih berada di balik tahanan di penjara Wamen.

D. Kasus Penyerangan Gudang Amunisi Wamena (2003)
Pada tanggal 4 April 2003, sekelompok orang menyerang Komando Distrik Militer Wamena dan membobol gudang senjata dan amunisi. Tidak lama kemudian, pihak militer merespon secara brutal dengan mengadakan operasi penyisiran di sebuah desa di Wamena. Terdapat 9 orang yang dilaporkan meninggal, 11 orang ditahan dan 38 disiksa. Selama dalam tahanan, Apotnalogik Lokobal diborgol dan ditendang hingga tak sadarkan diri oleh dan Assa Alua. Tiga anggota KNPB (Komite Nasional Papua Barat) sedang dalam perjalanan pulang setelah bertemu dengan anggota DPRD Papua ketika mereka dihentikan dan digeledah oleh polisi yang menemukan belati dari tulang Kasuari (sebuah senjata tradisional Papua) di dalam tasnya. Berdasarkan wawancara dengan Wandikbo, dia telah membeli sebuah belati di pasar Sentani untuk dikirimkan ke orang tuanya di Wamena agar dapat digunakan untuk perabotan rumah tangga.

Ketika diinterogasi, polisi menuduhnya telah membunuh seorang pengemudi taksi di Wamena sebulan sebelumnya. Untuk mendapatkan pengakuan ini, tangan dan kaki Wandikbo dihantam, bajunya dilucuti dan alat kelaminnya ditusuk berkali-kali dengan ujung gagang sapu. Tanpa kehadiran pengacara selama interogasi, Wandikbo dipaksa menandatangai sebuah Berita Acara Pemeriksaan Polisi, diancam akan dibunuh jika dia menolak. Terlepas dari alibi yang dia miliki, Wandikbo ditahan 8 tahun penjara karena tuduhan membunuh berdasarkan Ayat 340 dan 56 KUHP dan Undang-Undang 9/1981. Dia masih berada dalam tahanan di penjara Abepura.

F. Pelanggaran HAM Berat Wasior
Peristiwa Wasior Berdarah merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia selama kurun waktu April - Oktober 2001 di Wasior. Kasus pelanggaran HAM Wasior berawal dari masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas oleh perusahan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Masyarakat menuntut ganti rugi kepada perusahan atas tanah adat termasuk kayu-kayu mereka yang dikuasai PT Dharma Mukti Persada. Tuntutan masyarakat tidak dipedulikan oleh pihak perusahaan yang di backup oleh anggota Brimob1. Kemudian sekelompok orang bersenjata melakukan penyerangan terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi penyerangan terhadap base camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini lima orang anggota Brimob tewas dan satu orang warga sipil. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan disekitar Wasior,2 dengan dukungan Kodam XVII Trikora3 melakukan " Operasi Tuntas Matoa".

Operasi ini menyebabkan korban dikalangan masyarakat sipil. Berdasarkan laporan Komnas HAM telah terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk : 1. Pembunuhan ( 4 kasus) ; 2. Penyiksaan ( 39 Kasus ) termasuk menimbulkan kematian ( Dead in custody); 3. Pemerkosaan ( 1 kasus); dan 5. Penghilangan secara paksa ( 5 Kasus); 6. Terjadi pengungsian secara paksa yang menimbulkan kematian dan penyakit; serta 7. Kehilangan dan pengrusakan harta milik.4 Karena pada saat operasi tersebut terdapat 51 rumah yang dibakar beserta harta benda di 8 lokasi yang berbeda (Wasior Kota, Kampung Wondamawi, Kampung Wondiboi, Kampung Cenderawol, di Sanoba. Operasi tersebut juga memakan korban secara meluas ke beberapa daerah luar teluk Wondama seperti Yopanggar bagian utara teluk wondama, wilayah kepulauan Roon, Kecamatan Windesi, kecamatan Ransiki, Bintuni, kota Manokwari dan Nabire.


G. Biak Berdarah
tanggal 6 Juli, rona histori pahit pun muncul dalam ingatan. Di Kota iIak, dikaki Tower (yang berada ditengah2 kota), 6 Juli 1998 terjadi pembantaian kemanusiaan; Memerkosa Ibu-ibu dan perempuan mudah lalu dibunuh; penculikan paksa terhadap masyarakat Papua, bahkan sebagian mayat ditemukan di tepian pesisir pantai PNG--Hingga Bapak Filep Jees Karma menjalani Hukuman Penjarah selama 15 Tahun. Dalam kasus Biak berdarah ini jumlah korban masyarakat sipil mencapai ratusan orang.

Dari segala jenis HAM yang dialami oleh rakyat Papua yang mulai dari tahun 60an hingga saat ini 2019 kasus HAM tersebut sudah mencapi ribuan kasus. Karena itu, dengan banyaknya kasus ham tersebut sehingga otoritas negara kolonial Indonesia tak sanggup pula dalam menyelesaikan kasus-kasus ham berat Papua tersebut. Sebenarnya negara sanggup dalam menyelesaikan kasus ham Papua yang beribu-ribu tersebut karen konstitusi negara menghendakinya dan menjaminnya pula. Namun, oleh karena negara sendiri tiada pula ber-kehendak untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus ham Papua tersebut.

Impunitas Masi Berlaku Di Indonesia
Teranglah sudah bahwa yang namanya pemerintahan kolonial Indonesia tak akan pernah memperhatikan dan menghargai hak asasi manusi Papua, harkat manusia Papua yang dipandang rendah oleh Indonesia dan sebagainya. Dengan ini, yang dimaksud dengan impunitas adalah di mana pelaku pelanggaran HAM terhadap suatu kelompok etnik, ras ataupun kelompok masyarakat tertentu yang dikorbankan oleh pelaku tindak kejahatan di berikan kebebasan tanpa diadili melalui mekanisme hukum yang berlaku atas tindakannya tersebut. Sehingga, pelaku pelanggaran HAM Papua sejak pada tahun 60an sampai dengan saat ini senantiasa diberikan hak impunitas oleh negara terhadap mereka para pelaku tindak kejahatan kemanusiaan tersebut.

Bahkan lebih parahnya lagi otoritas negara memberikan penghargaan (kenaikan pangkat) kepada mereka, karena telah melakukan tugas negara yang mana tugas negara tersebut bentuk kegiatannya/tugasnya adalah membunuh manusia Papua yang tak berdosa tersebut. Jadi ada pepata orang-orang Papua yang dikhususkan bagi pihak aparat Militer maupun polri dan sejenisnya adalah “Jika ingin mendapatkan jabatan yang tinggi serta elektabilitas yang tinggi makan anda harus pula datang ke Papua dan membunuh satu orang Papua barulah pangkat anda akan meningkat”. Begitulah pepatah yang sering disebut oleh rakyat Papua yang sekian lamah telah menjadi objek pemusnahan etnis melanesia (Papua) itu sendiri.



Sumber Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia.
PAPUA: Wilayah tak Berhukum.
Catatan Kekerasan di Papua Januari-Juni 2012 (Komnas HAM).
Penyiksaan di Papua; Kekerasan yang terus berlanjut.
Press Rilis; Pelanggaran HAM Berat Wasior : 17 Tahun Mencari Keadilan

PEMBUNUHAN DAN MUTILASI WARGA SIPIL PAPUA

Pembunuhan Dan Mutilasi 4 Warga Sipil  Pembunuhan dan Mutilasi  4 Warga Sipil di Timika adalah kejahatan kemanusiaan, segera tangkap dan Adi...