PENYELESAIAN
HAM PAPUA MUSTAHIL DI TUNTASKAN OLEH PEMERINTAH INDONESIA
Oleh:
Arnold Meaga
Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang
menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara
teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Mereka
umumnya dipahami sebagai hal yang mutlak sebagai hak-hak dasar "yang
seseorang secara inheren berhak karena dia adalah manusia", dan yang
"melekat pada semua manusia" terlepas dari bangsa, lokasi,
bahasa, agama, asal-usul etnis atau status lainnya. Ini berlaku di
mana-mana dan pada setiap kali dalam arti yang universal, dan ini egaliter
dalam arti yang sama bagi setiap orang. HAM membutuhkan empati dan aturan
hukum dan memaksakan kewajiban pada orang untuk menghormati hak asasi
manusia dari orang lain. Mereka tidak harus diambil kecuali sebagai hasil
dari proses hukum berdasarkan keadaan tertentu misalnya, hak asasi manusia
mungkin termasuk kebebasan dari penjara melanggar hukum , penyiksaan, dan
eksekusi.
Doktrin dari hak asasi manusia sangat berpengaruh dalam hukum internasional, lembaga-lembaga global dan regional. Tindakan oleh negara-negara dan organisasi-organisasi non-pemerintah membentuk dasar dari kebijakan publik di seluruh dunia. Ide HAM menunjukkan bahwa "jika wacana publik dari masyarakat global mengenai perdamaian dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu merujuk ke hak asasi manusia." Klaim yang kuat yang dibuat oleh doktrin hak asasi manusia terus memprovokasi skeptisisme yang cukup besar dan perdebatan tentang isi, sifat dan pembenaran hak asasi manusia sampai hari ini. Arti yang tepat dari hak asasi memicu kontroversial dan merupakan subyek perdebatan filosofis yang berkelanjutan sementara ada konsensus bahwa hak asasi manusia meliputi berbagai hak seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil, perlindungan terhadap perbudakan, larangan genosida, kebebasan berbicara, atau hak atas pendidikan, ada ketidaksetujuan tentang mana yang hak tertentu harus dimasukkan dalam kerangka umum hak asasi manusia beberapa pemikir menunjukkan bahwa hak asasi manusia harus menjadi persyaratan minimum untuk menghindari pelanggaran terburuk, sementara yang lain melihatnya sebagai standar yang lebih tinggi.
Doktrin dari hak asasi manusia sangat berpengaruh dalam hukum internasional, lembaga-lembaga global dan regional. Tindakan oleh negara-negara dan organisasi-organisasi non-pemerintah membentuk dasar dari kebijakan publik di seluruh dunia. Ide HAM menunjukkan bahwa "jika wacana publik dari masyarakat global mengenai perdamaian dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu merujuk ke hak asasi manusia." Klaim yang kuat yang dibuat oleh doktrin hak asasi manusia terus memprovokasi skeptisisme yang cukup besar dan perdebatan tentang isi, sifat dan pembenaran hak asasi manusia sampai hari ini. Arti yang tepat dari hak asasi memicu kontroversial dan merupakan subyek perdebatan filosofis yang berkelanjutan sementara ada konsensus bahwa hak asasi manusia meliputi berbagai hak seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil, perlindungan terhadap perbudakan, larangan genosida, kebebasan berbicara, atau hak atas pendidikan, ada ketidaksetujuan tentang mana yang hak tertentu harus dimasukkan dalam kerangka umum hak asasi manusia beberapa pemikir menunjukkan bahwa hak asasi manusia harus menjadi persyaratan minimum untuk menghindari pelanggaran terburuk, sementara yang lain melihatnya sebagai standar yang lebih tinggi.
HAM
Tidak Berlaku Bagi Bangsa Papua Barat
Bentuk
daripada HAM itu sendiri telah disampaikan di muka bahwa, HAM adalah prinsip-prinsip moral
atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku
manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota
dan internasional secara universal. Oleh sebab itu, HAM berlaku bagi semua
makluk manusia yang sedang hidup di bumi ini kecuali bagi manusia yang telah
tiada dari kehidupan di bumi ini (Meninggal).
Bangsa Indonesia memiliki hak untuk memerdekakan dirinya dari
penjajahan kolonialisme secara politik ataupun fisik karena bangsa penjajah
tidak memiliki hak untuk mengatur nasip hidupnya manusia lainnya ataupun suatu
bangsa. Karena itu jiak bangsa Indonesia yang berjuta-juta tersebut bangkit
nasionalismenya dan melawan penjajah kolonial maka itu adalah haknya bangsa
Indonesia tersebut. Sebab, yang melakukan perlawanan yang oleh bangsa Indonesia
atas bangsa penjajah tersebut di lakukan secara individu yang kemudian dari
individu tersebut berkumpul menjadi sati-kesatuan yang besar dan solit dalam
melakukan perlawanan terhadap bangsa paenjajah. Sebab, setiap individu yang
bergabung menjadi satu-kesatuan yang besar tersebut memiliki hak asasinya
sebagai manusia yang berhak dalam melawan dan mengusir bangsa penjajah kolonial.
Demikian pula bangsa Papua Barat memiliki hak asasi yang sama
dengan bangsa Indonesia. Bangsa Papua barat selagi masih dijajah oleh bangsa
kolonial yang pertama (Belanda), hak asasi manusia Papua sangatlah dihormati,
martabat manusia Papua dan lain-lain. Oleh kerenya, hak asasi manusia Papua
pada zaman penjajahan kolonial yang pertama dengan yang kedua sangat berbeda
jauh hak asasinya manusia Papua tersebut. Hak asasi manusia Papua dalam
berpolitik, berekonomi, bersosial dan berbudaya sangat dihormati dan dihargai
oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai penjajah Papua yang pertama, bahkan
bangsa Papua di izinkan untuk melaksanakan politik dalam menentukan nasipnya
sendiri sebagai bangsa Papua yang merdeka dan berdaulat layaknya bangsa-bangsa
lainnya yang ada di muka bumi ini.
Akan tetapi setelah bangsa kolonial pertama selesai menjajah
bangsa Papua keluar dari bumi Papua, dan selanjutnya bangsa Papua mulai dijajah
oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa kolonial yang kedua. Setelah awal
integrasi Papua pada 1963 yang penuh dengan intimidatif dan manipulatif
tersebut setelahnya bangsa Papua sah menjadi bagian dari Indonesia. Sejak 1963
awal integrasi Papua itulah hak asasi manusia Papua tiada pula berlaku lagi
atau diberlakukan oleh pemerintah kolonial (Indonesia) tersebut. Hak asasi
manusia Papua dalam dunia perpolitikan, perekonomian, kebudayaan dan sosial
serta hak hidup manusia Papua diatas negrinya sendiri senantiasa di tutup hak
asasinya. Bahkan dibawa pemerintahan kolonialisme Indonesia hak hidup bagi bangsa
Papua sudah pula tiada jaminannya, haknya pun atas tanah-tanah adat dan
lain-lain sudah tiada pula bagi orang-orang Papua. Ham bagi bangsa Papua tidak
berlaku sama sekali, bangsa Papua tidak mengenal ham, karena ham telah di
tiadakan di atas tanah Papua terhadap manusianya. Harkat orang-orang Papua di
rendahkan oleh bangsa kolonial, sebab, seluruh bangsa Papua barat tidak
memiliki hak asasinya secara individu ataupun universal. Oleh kerena itu,
kehidupan bangsa Papua dengan Indonesia saat ini bagi bangsa Papua adalah
ibarat hidup dalam api neraka yang senantiasa hidup dibawah penderitaan secara
terus-menerus.
Data Korban Kasus (HAM) Papua
Dalam hal ini, saya tidak akan menyusun seluruh kasus ham yang
pernah dilakukan oleh Indonesia (kolonial) yang sejak pada tahun 60an hingga
saat ini. Sebab jika dapat saya susun secara keseluruhan (konkrit) terkait
kasus ham Papua maka akan membuat anda yang mulia (pembaca) cape dan bosan
melihat isi secara keseluruhan kasus ham yang telah disusun. Sehingga saya hanya
akan memuat yang penting-penting saja yang jumlah korban hamnya cukup
signifikan dari kausalitas tindakan aparat militer kolonial Indonesia itu sendiri
terhadap bangsa Papua barat, karena itu susunan data ham ini disusun secara
acak tidak hirarkis dan berdasarkan urutan tahun.
Sepanjang 2011,
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat
sejumlah praktek kekerasan dan patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM yang
berat di Papua. Sebanyak 52 peristiwa kekerasan dengan 52 orang meninggal, 59
luka-luka. Termasuk diantara mereka berasal dari TNI dan Polri. Hampir
berbanding lurus, angka kekerasan tersebut diiringi dengan angka yang hampir
mirip dari ketiadaan penegakan hukum dari kasus-kasus tersebut. Pada November
2011, KontraS, perwakilan mahasiswa Papua, Foker LSM Papua, KAMPAK dan
Perwakilan Pekerja PT Freeport pernah diundang ke Komisi I DPR RI dan
mengadakan kunjungan ke Mabes Polri yang diterima oleh Waka. Polri, Sdr. Nanan
Soekarna, Saud Usman dan sejumlah petinggi Mabes Polri. Dari
pertemuan-pertemuan tersebut disampaikan data-data kekerasan yang terjadi di
Papua selama beberapa bulan pada 2011. Sayangnya, tindakan tersebut tidak
memberikan implikasi pada penurunan kekerasan di Papua. Dalam konteks
Pemilukada pun, sejumlah organisasi yang sama yang disebutkan diatas, juga
melakukan pertemuan dengan Panwaslu di Jakarta, mendesak agar Panwaslu optimal
melakukan pemantauan dan membuat sebuah terobosan atas rangkaian kekerasan
dalam sengketa Pemilukada yang berujung kekerasan. Sama, hasilnya nihil sejauh
ini. Sementara di Papua, dialog hanya dilakukan lewat institusi perwakilan masyarakat
di Papua seperti DPRP.
Memasuki 2012
kekerasan dengan dugaan terjadi pelanggaran HAM yang berat kembali terjadi
dengan stabil dari satu kasus ke kasus lainnya. Dalam catatan Kontras, Foker
LSM dan NAPAS telah terjadi 34 peristiwa kekerasan an mengakibatkan korban
sebanyak 17 meninggal dan 29 orang luka-luka. Jumlah ini termasuk korban dari
kalangan TNI dan Polri. Dari sejumlah kasus tersebut patut dicatat berbagai
kejanggalan dari sikap, pernyataan dan kebijakan pemerintah, pihak kepolisian
dan maupun pihak TNI.
Pelanggaran
HAM Oleh Polisi
1. Penembakan Mako Tabuni, Wakil Ketua
Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Pada tanggal 6 Juni 2012, sekitar pukul
09.00 Wit, Polisi menembak Mako Tabuni di depan Gereja Masehi Advent, Perumnas
III Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua. Kejadian bermula ketika Polisi
berusaha menangkap Mako yang sedang berada di sekitar kampus Universitas
Cendrawasih Wamena. Berdasarkan informasi lapangan Mako dibuntuti oleh Polisi
dengan mobil, salah satu mobil terindentifikasi jenis TAFT warna hitam dengan
Nopol DS 447 AJ. Polisi turun dari mobil mencegat Mako dengan senjata dan
langsung menembak di kaki. Keterangan Polisi, Mako ditembak dikaki karena
berusaha melawan saat ditangkap. Polisi menangkap Mako atas tuduhan terlibat
pelaku kekerasan di Papua. Namun fakta lapangan berdasarkan keterangan saksi,
Mako tidak melakukan perlawanan. Bahkan Mako berusaha lari menyelamatkan diri
setelah Polisi menembak di kaki, tapi kemudian Polisi menembak lagi di kepala
hingga tewas.
Setelah peristiwa itu, masyarakat
mengamuk membakar ruko, 3 mobil dan 15 motor (foto terlampir). Warga
yang berada di lokasi sempat menghubungi Polisi untuk menangani tindakan
brutal, tapi tidak ada polisi yang datang. Setelah api dipadamkan oleh warga,
sekitar 1 jam kemudian baru Polisi, Brimob dan TNI mendadatangi ke lokasi
kejadian. Sampai saat ini belum ada satu pun pelaku yang menembak Mako di
proses secara hukum.
2.
Penembakan Melianus Kegepe, Selvius Kegepe, Amos Kegepe, Lukas Kegepe, Yulianus
Kegepe di Lokasi 45 Degeuwo, Desa Nomouwo, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai
Papua.
Personil Brimob BKO Polda Papua, Pos
Emas 99, beberapa personil teridentifikasi bernama Briptu Ferianto, Bripda
Agus, Bripda Edi menembak 5 warga di lokasi Biliar Daerah 45 Degeuwo, Desa
Nomouwo, Distrik Bogobaida, Kabupaten Paniai, Papua, pada tanggal 15 Mei 2012,
sekitar pukul 06.00 Wit. Kejadian bermula ketika Selpius Kegepe, Lukas Kegepe,
Amos Kegepe, dan Markus Kegepe mendatangi tempat biliar untuk bermain biliar di
lokasi 45. Namun pemilik biliar, Mama Waloni melarang mereka bermain. Keempat
orang itu tetap bermain dengan mengambil sendiri bola biliar. Mama Waloni tidak
terima kemudian menelpon Pos Brimob yang terletak di lokasi emas 99, sekitar
800 meter dari tempat biliar. Sektika personil Brimob mendatangi lokasi biliar
dengan membawa senjata, lengkap helm baja dan baju anti peluru.
Saat Brimob datang,
Lukas dan kawan-kawan keluar dari tempat biliar. Saat keluar Lukas mengeluarkan
kata-kata “kamu datang cari makan di atas paha saya.” Kata-kata itu memancing
emosi personil Brimob sehingga terjadi pemukulan terhadap Lukas dibagian mulut.
Melianus Kegepe yang berada di rumahnya membawa balok mengejar personil Brimob
yang memukul Lukas. Personil Brimob yang lain langsung menembak Melianus Kegepe
dibagian perut hingga tewas. Personil Brimob juga menembak Amos Kegepe di kaki
kiri dan betis kanan. Selvius Kegepe ditembak di lengan kanan. Lukas Kegepe
ditembak di rusuk, dan Yulianus Kegepe ditembak dibagian punggung. Keempat
orang ini mengalami luka kritis dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah
Jayapura. Anggota Brimob pelaku penembakan terhadap 5 warga itu sampai saat ini
lepas dari proses hukum.
3. Pembubaran Paksa
aksi KNPB oleh aparat kepolisian menyebabkan 1 orang tewas ditembak, 2 orang
mengalami penyiksaan dan 43 orang ditangkap semena-mena.
Pada 4 Juni 2012,
aparat gabungan Polisi dan TNI membubar paksa aksi KNPB dengan alasan tidak
memiliki izin demontrasi. Hari itu, massa KNPB melakukan aksi menuntut
penegakan hukum terhadap serangkain tindakan kekerasan yang dilakukan aparat.
Namun aparat menghadang dengan senjata dan menyiksa massa saat sedang menuju
titik sentral aksi, di Sentani, Expo dan Kota Madja Jayapura. Dalam peristiwa
itu, Yesa Mirin tewas ditembak, Fanuel Taplo, Tanius Kalakmabin kritis disiksa
dan 43 orang ditangkap oleh Polisi.
A. Pelanggaran
HAM Oleh Militer
Penyerangan warga Wamena, Kabupaten Jayawijaya
oleh TNI Batalyon Yonif 756 Wimane Sili/WMS, pada 6 Juni 2012, sekitar pukul
10.00 wib. Dalam penyerangan tersebut, Elinus Yoman tewas ditikam dengan pisau
sangkur, dan 13 orang luka-luka ditikam dikepala, punggung, lutut, tangan,
paha, dan beberapa bagian tubuh lainnya. Selain itu, TNI juga membakar 1 mobil,
2 rusak, 8 motor dibakar, 31 rumah warga dan 24 bangunan rumah sehat dibakar, 9
tempat usaha (kios) dibakar, dan 23 rumah sehat dirusak. Penyerangan terhadap
warga tersebut sebagai bentuk balas dendam terkait pengeroyokan dua teman
mereka, Pratu Ahmad Sahlan (tewas) dan Prada Parloi Pardede (kritis) oleh warga
Wamena. Kejadian pengeroyokan terhadap dua anggota TNI tersebut terjadi karena
anggota TNI tersebut menabrak seorang anak bernama Kevid Wanimbo di jalan
Kampung Honelama.
B. Penembakan/Pembunuhan
Misterius (Petrus) selama Januari-Juni 2012
Selain itu, kami juga
mencatat pada bulan Januari sampai Juni 2012, insiden Penembakan Misterius
(Petrus) meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan catatan
kami, tahun 2011 terjadi 13 peristiwa, 1 peristiwa terjadi tahun 2010 dan 12
peristiwa tahun 2009. Sementara pada tahun 2012, terhitung dari Januari sampai
11 Juni 2012, telah terjadi 18 peristiwa penembakan yang mengakibatkan
setidaknya 7 warga sipil, satu jurnalis meninggal dan 10 orang 4 mengalami luka
kritis, termasuk warga negara asing Jerman Dietman Pieper (29/05). Namun hampir
semua korban ditembak di tempat yang mematikan, seperti di bagian kepala, dada,
leher, wajah dan punggung tembus ke dada. Selain
itu, pelaku juga menyasar korban secara acak, termasuk TNI dan Polisi.
Beberapa kasus ham diatas adalah
sepenuhnya tindakan aparat militer dan juga polisi Indonesia terhadap rakyat
sipil di Papua. Kematian Pak Thedorus Hiyo Eluay pada 10 November 2001 adalah
murni tindakan aparat negara termasuk penghilangan sopirnya yang bernama
Aristoteles Masoka. Dan pada 8 Desember 2014 4 (empat) orang siswa SMA di
tembak mati oleh aparat militer. Yang hingga kini kasus tersebut telah
dilupakan oleh otoritas negara kolonial (Indonesia).
C. Kasus Pengibaran Bendera Yalengga
(2010)
Pada tanggal 20 November 2010,
setidaknya ada 6 laki-laki yang ditahan ketika mereka sedang menuju sebuah
pemakaman di desa Piramis di dekat Distrik Bokondini di Kabupaten Tolikara.
Korban dilaporkan jatuh sakit setelah disiksa oleh polisi beberapa bulan
sebelumnya dan akhirnya meninggal dunia. Meki Elosak, Wiki Meaga, Obeth Kosay,
Oskar Hilago, Meki Tabuni, Wombi Tabuni, Pastor Ali Jikwa dan Peres Tabuni
disiksa ketika ditahan karena dilaporkan memiliki bendera Bintang Kejora. Pada
bulan April 2014, bukti foto terkait perlakuan merendahkan martabat terhadap 6
orang ini disebarkan di media sosial.
Foto yang telah diverifikasi oleh Meki
Elosak selama wawancara dengan LSM berbasis di Jayapura, ALDP, menunjukkan para
pria terbaring di sebuah selokan. Elosak menjelaskan bahwa mereka dipaksa untuk
berguling berkali-kali di selokan berlumpur yang cukup luas oleh polisi dari
distrik Bolakme di provinsi Jayawijaya. Dia bersaksi bawa petugas polisi
menggunakan moncong senjata untuk mematahkan hidungnya ketika dia terbaring di
selokan. Dia juga menyatakan bahwa beberapa petugas polisi merekam seluruh
kejadian dengan telepon genggam mereka. Enam orang tersebut dihukum 6 tahun
penjara karena tuduhan makar. Meki Elosak dan Wiki Meaga masih berada di balik
tahanan di penjara Wamen.
D. Kasus Penyerangan Gudang Amunisi Wamena
(2003)
Pada tanggal 4 April 2003, sekelompok
orang menyerang Komando Distrik Militer Wamena dan membobol gudang senjata dan
amunisi. Tidak lama kemudian, pihak militer merespon secara brutal dengan
mengadakan operasi penyisiran di sebuah desa di Wamena. Terdapat 9 orang yang
dilaporkan meninggal, 11 orang ditahan dan 38 disiksa. Selama dalam tahanan,
Apotnalogik Lokobal diborgol dan ditendang hingga tak sadarkan diri oleh dan
Assa Alua. Tiga anggota KNPB (Komite Nasional Papua Barat) sedang dalam
perjalanan pulang setelah bertemu dengan anggota DPRD Papua ketika mereka
dihentikan dan digeledah oleh polisi yang menemukan belati dari tulang Kasuari
(sebuah senjata tradisional Papua) di dalam tasnya. Berdasarkan wawancara
dengan Wandikbo, dia telah membeli sebuah belati di pasar Sentani untuk
dikirimkan ke orang tuanya di Wamena agar dapat digunakan untuk perabotan rumah
tangga.
Ketika diinterogasi, polisi menuduhnya
telah membunuh seorang pengemudi taksi di Wamena sebulan sebelumnya. Untuk
mendapatkan pengakuan ini, tangan dan kaki Wandikbo dihantam, bajunya dilucuti
dan alat kelaminnya ditusuk berkali-kali dengan ujung gagang sapu. Tanpa
kehadiran pengacara selama interogasi, Wandikbo dipaksa menandatangai sebuah
Berita Acara Pemeriksaan Polisi, diancam akan dibunuh jika dia menolak.
Terlepas dari alibi yang dia miliki, Wandikbo ditahan 8 tahun penjara karena
tuduhan membunuh berdasarkan Ayat 340 dan 56 KUHP dan Undang-Undang 9/1981. Dia
masih berada dalam tahanan di penjara Abepura.
F. Pelanggaran HAM Berat Wasior
Peristiwa Wasior Berdarah
merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan
Indonesia selama kurun waktu April - Oktober 2001 di Wasior. Kasus pelanggaran
HAM Wasior berawal dari masyarakat yang menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang
dirampas oleh perusahan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Masyarakat menuntut
ganti rugi kepada perusahan atas tanah adat –termasuk
kayu-kayu mereka yang dikuasai PT Dharma Mukti Persada. Tuntutan masyarakat
tidak dipedulikan oleh pihak perusahaan yang di backup oleh anggota Brimob1. Kemudian sekelompok orang
bersenjata melakukan penyerangan terhadap PT Darma Mukti Persada (DMP) di
Kecamatan Wasior pada tanggal 31 Maret 2001. Dalam peristiwa tersebut tiga
orang pegawai PT DMP menjadi korban. Pada tanggal 13 Juni 2001 terjadi lagi
penyerangan terhadap base camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di
desa Wondiboi. Dalam peristiwa ini lima orang anggota Brimob tewas dan satu
orang warga sipil. Setelah peristiwa tersebut, Polda Papua melakukan pengejaran
dan penyisiran terhadap pelaku penyerangan ke berbagai desa dan kecamatan disekitar
Wasior,2 dengan dukungan Kodam XVII Trikora3 melakukan " Operasi Tuntas Matoa".
Operasi ini menyebabkan
korban dikalangan masyarakat sipil. Berdasarkan laporan Komnas HAM telah
terjadi indikasi kejahatan HAM dalam bentuk : 1. Pembunuhan ( 4 kasus) ; 2. Penyiksaan
( 39 Kasus ) termasuk menimbulkan kematian ( Dead in custody); 3. Pemerkosaan (
1 kasus); dan 5. Penghilangan secara paksa ( 5 Kasus); 6. Terjadi pengungsian secara
paksa yang menimbulkan kematian dan penyakit; serta 7. Kehilangan dan pengrusakan
harta milik.4 Karena pada saat operasi tersebut terdapat 51 rumah yang dibakar
beserta harta benda di 8 lokasi yang berbeda (Wasior Kota, Kampung Wondamawi, Kampung
Wondiboi, Kampung Cenderawol, di Sanoba. Operasi tersebut juga memakan korban
secara meluas ke beberapa daerah luar teluk Wondama seperti Yopanggar bagian utara
teluk wondama, wilayah kepulauan Roon, Kecamatan Windesi, kecamatan Ransiki, Bintuni,
kota Manokwari dan Nabire.
G. Biak Berdarah
tanggal 6
Juli, rona histori pahit pun muncul dalam ingatan. Di Kota iIak, dikaki Tower
(yang berada ditengah2 kota), 6 Juli 1998 terjadi pembantaian kemanusiaan;
Memerkosa Ibu-ibu dan perempuan mudah lalu dibunuh; penculikan paksa terhadap
masyarakat Papua, bahkan sebagian mayat ditemukan di tepian pesisir pantai
PNG--Hingga Bapak Filep Jees Karma menjalani Hukuman Penjarah selama 15 Tahun.
Dalam kasus Biak berdarah ini jumlah korban masyarakat sipil mencapai ratusan
orang.
Dari segala jenis HAM yang dialami oleh
rakyat Papua yang mulai dari tahun 60an hingga saat ini 2019 kasus HAM tersebut
sudah mencapi ribuan kasus. Karena itu, dengan banyaknya kasus ham tersebut
sehingga otoritas negara kolonial Indonesia tak sanggup pula dalam
menyelesaikan kasus-kasus ham berat Papua tersebut. Sebenarnya negara sanggup
dalam menyelesaikan kasus ham Papua yang beribu-ribu tersebut karen konstitusi
negara menghendakinya dan menjaminnya pula. Namun, oleh karena negara sendiri
tiada pula ber-kehendak untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus ham Papua
tersebut.
Impunitas
Masi Berlaku Di Indonesia
Teranglah sudah bahwa yang namanya
pemerintahan kolonial Indonesia tak akan pernah memperhatikan dan menghargai
hak asasi manusi Papua, harkat manusia Papua yang dipandang rendah oleh
Indonesia dan sebagainya. Dengan ini, yang dimaksud dengan impunitas adalah di
mana pelaku pelanggaran HAM terhadap suatu kelompok etnik, ras ataupun kelompok
masyarakat tertentu yang dikorbankan oleh pelaku tindak kejahatan di berikan
kebebasan tanpa diadili melalui mekanisme hukum yang berlaku atas tindakannya
tersebut. Sehingga, pelaku pelanggaran HAM Papua sejak pada tahun 60an sampai
dengan saat ini senantiasa diberikan hak impunitas oleh negara terhadap mereka
para pelaku tindak kejahatan kemanusiaan tersebut.
Bahkan lebih parahnya lagi otoritas
negara memberikan penghargaan (kenaikan pangkat) kepada mereka, karena telah
melakukan tugas negara yang mana tugas negara tersebut bentuk
kegiatannya/tugasnya adalah membunuh manusia Papua yang tak berdosa tersebut.
Jadi ada pepata orang-orang Papua yang dikhususkan bagi pihak aparat Militer
maupun polri dan sejenisnya adalah “Jika ingin mendapatkan jabatan yang tinggi
serta elektabilitas yang tinggi makan anda harus pula datang ke Papua dan
membunuh satu orang Papua barulah pangkat anda akan meningkat”. Begitulah
pepatah yang sering disebut oleh rakyat Papua yang sekian lamah telah menjadi
objek pemusnahan etnis melanesia (Papua) itu sendiri.
Sumber Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_asasi_manusia.
PAPUA: Wilayah tak Berhukum.
Catatan Kekerasan di Papua Januari-Juni 2012 (Komnas HAM).
Penyiksaan di Papua; Kekerasan
yang terus berlanjut.
Press Rilis; Pelanggaran HAM Berat Wasior : 17 Tahun Mencari Keadilan