Jumat, 15 Mei 2020

AMERIKA SERIKAT SEDANG MEROSOT MENJADI NEGARA GAGAL

AMERIKA SERIKAT SEDANG MEROSOT MENJADI 
NEGARA GAGAL



[ Oleh: VA Safi'i ]

Amerika Serikat adalah sebuah negara dengan kekuatan terbesar di planet bumi ini. Bisa dibilang bahwa selama 150 tahun terakhir ini, kekuatan Amerika Serikat tidak tertandingi. Namun, fakta berbicara lain. Negara yang dikenal sebagai “super power” tersebut, hari ini sangat tergantung pada uluran tangan (baca: belas kasihan) dari negara lain (termasuk dari Cina) dalam hal menangani wabah virus corona. Amerika Serikat, yang sejak awal didirikannya dengan mendasarkan diri pada sistem kapitalisme, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Ronald Reagan dengan kebijakan neoliberalisme-nya puluhan tahun yang lalu, tanda-tanda kehancurannya sudah semakin nampak. Di bidang industri dan teknologi, kemampuan Amerika Serikat mulai menurun. Di bidang pelayanan publik seperti kesehatan, Amerika Serikat betul-betul menjadi salah satu negara yang rapuh dan tidak siap menghadapi serangan wabah corona. 

Ketika virus muncul dan tiba di Amerika Serikat, virus ini mendapati sebuah negara dengan kondisi infrastruktur dasar yang parah dan menyerangnya dengan tanpa ampun. Di Amerika Serikat, berdasarkan data hari ini (13/5), COVID-19 telah menginfeksi 1.408.636 orang dan membunuh 83.425 orang.

Penanganan krisis membutuhkan respons yang cepat, rasional, dan kolektif. Sebaliknya, Amerika Serikat bereaksi seperti negara-negara “terbelakang” dengan kondisi infrastruktur yang buruk dan dengan pemerintahan yang tidak berfungsi karena para pemimpinnya terlalu korup atau terlalu bodoh guna menghindari penderitaan massal. 

Bahkan, pemerintahan Amerika Serikat kehilangan dua bulan pertama sejak Januari – Februari untuk melakukan langkah-langkah persiapan guna mengantisipasi penyebaran virus. Presiden Donald Trump sendiri malah secara sengaja menutup mata atas wabah tersebut dengan cara membuat kambing hitam, gertakan serta menyebar kebohongan. Teori konspirasi dan obat mujarab (mulai dari chloroquine hingga disuntik dengan desinfektan) keluar dari mulutnya Donald Trump. Tragisnya, ketika seorang dokter pemerintah mencoba memperingatkan publik akan bahaya virus corona, pihak Kepresidenan malah mengambil mikrofon dan mempolitisir pesan dokter tersebut.

Apa yang dilakukan oleh Donald Trump, sesungguhnya hanya melanjutkan logika lama (kapitalisme) para pendahulunya dengan cara menggunakan kekuatan politiknya untuk melayani kepentingan perusahaan besar (koorporasi) dengan dalih bisa menghancurkan perekonomian Amerika Serikat. Konsekuensinya adalah kebijakan Donald Trump tersebut harus dibayar dengan kematian puluhan ribu rakyatnya. Singkatnya, Amerika Serikat telah menjadi apa yang selalu dituduhkan kepada lawan-lawan geopolitiknya (negara-negara penentang): NEGARA YANG GAGAL!

Dalam sebulan terakhir, Amerika Serikat telah kehilangan 20 juta lebih lapangan pekerjaan sehingga pengangguran resmi di negara tersebut sudah mencapai 15 %. Sebuah catatan terburuk yang belum pernah terjadi sejak krisis ekonomi tahun 1929. 

Yang pasti adalah bahwa munculnya Donald Trump sebagai presiden semakin memperburuk negara ini, di mana 41% orang kaya berdampingan hidup dengan 1/3 (sepertiga) penduduknya (105.303.000 jiwa) yang hidup tanpa jaminan kesejahteraan dan keamanan dari negara serta berjuang sendiri guna memenuhi kebutuhan masing-masing. Selain itu, satu setengah juta anak-anak tidak memiliki akses ke pendidikan tingkat menengah. Juga, terdapat sekitar 14 juta penduduk Amerika tanpa asuransi kesehatan.  Menurut para pengamat kesehatan di negeri tersebut, Amerika Serikat bisa kehilangan ratusan ribu penduduknya (meninggal dunia) akibat virus corona. Hal ini bisa dipahami mengingat sistem kesehatannya mengabdi pada kepentingan orang kaya daripada orang miskin.

Amerika Serikat adalah sebuah contoh sistem negara kaya yang menghasilkan semakin banyak orang miskin dan semakin banyak ketidakadilan. Bayangkan, dari seluruh tahanan atau narapidana di dunia ini, maka 25% berasal dari dan berada di Amerika Serikat. Dan, jumlah pasien yang mengidap gangguan kejiwaan tertinggi di dunia ternyata berasal dari Amerika Serikat juga. 

Banyak analis ekonomi yang menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak lagi menjadi negara terdepan di dunia Barat dari sudut pandang ekonomi. Teknologinya tidak berkembang. Ini terjadi dikarenakan bahwa Amerika Serikat lebih berkonsentrasi membangun arogansi politik internasional, menebarkan sanksi-sanksi ekonomi dan politik kepada negara-negara pesaingnya seperti Rusia, Cina, Cuba, Venezuela, Iran, dan seterusnya. Selain itu juga, lebih menerapkan pada strategi supremasi militer (polisi dunia) guna menguatkan dominasinya atas bumi. Arogansi (kesombongan) yang dibangun imperialis Amerika tersebut, juga bukan sebuah kebetulan mengingat diikuti dengan berbagai bentuk pelecehan terhadap hukum internasional. Kasus terbaru intervensi Amerika Serikat terhadap kedaulatan sebuah negara bisa kita lihat dari kudeta militer di Bolivia (2019) dan Operasi Teluk Babi Ke-2 terhadap Venezuela (2020).

Beberapa tahun terakhir ini, Amerika Serikat sedang menghadapi “keblunderan politik” antara kebijakan dalam negerinya (domestik) dan luar negerinya. Jika dicermati lebih seksama, kedua kebijakan tersebut saling bertolak belakang. 

PERANG merupakan strategi utama Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk menaklukkan pasar dan mengukuhkan dominasi geopolitiknya. Ini wajar, mengingat segala sumber daya yang dibutuhkan oleh Amerika Serikat berada di negara lain. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dalam negerinya, Amerika Serikat butuh minyak. Karenanya, strategi memporak-porandakan Suria (Timur Tengah) dan Venezuela (Amerika Latin) menjadi satu-satunya jalan guna mengusai sumber daya minyak di kedua negara tersebut. Agar terwujud, maka dibutuhkanlah perang beserta perlengkapan pendukungnya. Menurut data yang ada, terdapat 6 armada angkatan laut dan 725 pangkalan militer dengan 300.000 tentara Amerika Serikat yang tersebar di seluruh dunia.  

Penggunaan perang dan destabilisasi internasional sebagai alat utama strategi politik selalu menjadi elemen konstan bagi pemerintahan Amerika Serikat.  Guna melancarkan rencana tersebut, Presiden Donald Trump meningkatkan anggaran pertahanan sebanyak 5,6% pada tahun 2019. Namun strategi ini terbukti gagal saat menghadapi kemajuan dan perkembangan yang dilakukan oleh Cina dan Rusia.

Manuver militer di jantung Eropa dan kebijakan provokatifnya terhadap Rusia, aktivasi armada di Karibia (Amerika Latin) dan mendukung kudeta di negara-negara di Amerika Latin, melanggar perjanjian untuk pelucutan nuklir Iran dan Korea Utara, pembunuhan terhadap salah satu Jenderal militer Iran di Irak, campur tangan di Laut Cina, semua itu menjadi salah satu contoh kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Setelah kemenangan Amerika Serikat di Bolivia, Ekuador, Brasil dan Uruguay (negara-negara berideologi sosialisme), ternyata tidak berakhir dengan hasil yang bagus. Dinamika politik yang tidak diduga-duga, justru terjadi di Meksiko dan Argentina. Di kedua negara tersebut, kekuatan politiknya justru berbelok ke KIRI (sosialisme).  Di sisi yang lain, negara-negara yang menjadi musuh bebuyutan Amerika Serikat seperti Venezuela, Kuba dan Nikaragua tetap tidak tergoyahkan dan tetap menjadi duri internasional bagi negara Adidaya tersebut. Amerika Serikat juga harus mengalami “gagal panen” atas perang di Suriah  serta Irak dan Afghanistan. 

Secara historis, Amerika Serikat mengalami kejayaan pasca Perang Dingin yang ditandai dengan hancurnya Uni Soviet tahun 1990-an. Di tengah-tengah euphoria dan arogansinya Amerika Serikat tersebut, ternyata Rusia sebagai penerus Uni Soviet melakukan aliansi strategis dengan Cina dalam menghadapi Amerika Serikat. 

Jadi, tantangan utama Amerika Serikat adalah berhadapan dengan Beijing dan Moskow. Amerika Serikat melihat Cina sebagai kekuatan ekonomi baru yang tidak akan bisa ditandingi, sedangkan dalam hal Rusia, dinilai sebagai kekuatan militer yang mematikan. Ketidakberdayaan Amerika Serikat semakin terlihat dengan pengembangan teknologi mutakhir Cina terkait dengan teknologi 5G. Apa yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Hong Kong dan Uighur, tetap tak mampu menggoyahkan posisi Cina. Sebaliknya, dalam beberapa bulan terakhir ini, pengaruh Amerika Serikat di dunia internasional semakin merosot berkaitan dengan menonjolnya “aksi solidaritas internasional” melawan wabah virus corona yang dilakukan oleh Cina, Cuba, Rusia, Venezuela, dan Vietnam. 

Mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter dalam percakapan baru-baru ini dengan Donald Trump mengatakan bahwa keunggulan teknologi dan ekonomi yang dimiliki oleh China karena negara Tirai Bambu ini tidak pernah terlibat dalam perang, sedangkan Amerika Serikat sudah menghabiskan anggaran lebih dari $ 30.000 miliar guna mendukung ambisi perangnya. Bukan kebetulan bahwa Cina sekarang adalah negara kedua di dunia untuk investasi pertahanan, dengan peningkatan sebesar 5,1% dibandingkan tahun 2018.

Di sisi yang lain, Rusia telah mendapatkan kembali identitas politiknya, kekuatan industri dan, terutama, pertumbuhan ekonominya.  Peningkatan stabilitas politik dan perkembangan ekonomi dalam negeri yang semakin kuat telah mendukung kembalinya Rusia ke dimensi militer tingkat tinggi.  

Aliansi antara dua raksasa Eurasia (Rusia dan Cina) adalah mimpi terburuk bagi Amerika Serikat. Dan, semakin buruk lagi jika Cina dengan Rusia dan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan) bergabung (dan bahkan beberapa negara Eropa) dalam proyek untuk memperkuat bank investasi internasional yang baru dengan mengoperasionalkan mata uang Cina (yuan), maka kemerosotan Amerika Serikat tidak akan lagi bisa dibendung. Mata uang dolar tidak lagi menjadi mata uang tunggal dalam perdagangan internasional. Dan, jika ini terjadi, maka kiamat jugalah perjanjian Bretton Woods (IMF, Bank Dunia).

Catatan:
Diolah dari berbagai sumber
---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMBUNUHAN DAN MUTILASI WARGA SIPIL PAPUA

Pembunuhan Dan Mutilasi 4 Warga Sipil  Pembunuhan dan Mutilasi  4 Warga Sipil di Timika adalah kejahatan kemanusiaan, segera tangkap dan Adi...