INTELETUALITAS ORANG PAPUA TELAH GAGAL
SEBAGIAN
Oleh: Arnold Ev. Meaga
Etimologi Intelektual
Etimologi intelektual
berasal dari bahasa latin interlego atau intelego yang bermakna “aku membaca
diantaranya” atau “aku masi uraikan”. Berdasarkan kamus lengkap indonesia yang
dimaksud dengan intelektual adalah orang yang mempunyai kecerdasan tinggi
(cendikiawan) dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Krel Ernes
George mendefinisikan intelektual sebagai orang yang dalam dan intens
memikirkan atau menghayati segala sesuatu. Oxford advanced leamer’ distionary
memberikan batasan bahwa intelektual adalah orang-orang yang mempunyai atau
menunjukan kemampuan nalar yang baik, tertarik pada hal-hal yang berkaitan
dengan pikiran seperti kesenian atau ide-ide itu sendiri, mempunyai kemampuan
untuk sunggu-sunggu berpikir bebas. Menurut Paul Baran, seorang intelektual
pada azasnya adalah seorang pengeritik masyarakat, seseorang yang pekerjaannya
mengidentifikasi, manganalisis dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan-rintangan
jalan yang menghambat tercapainya susunan-susunan masyarakat yang lebih baik,
lebih berperikemanusiaan dan lebih rasional.
Sekolah Yang Di Agungkan Oleh Umat
Manusia
Ya, sekolah, ternyata memang
bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan
yang terlanjur dianggap sebagai wahana terbaik sebagai pewarisan nilai-nilai, dan
akhirnya memang cuma akan menjadi sekedar alat untuk mewariskan dan
melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui, tentu saja, oleh siapa yang berkuasa
menentukan apakah nilai-nilai resmi yang mesti berlaku dan direstui, untuk menentukan
apakah nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui saat itu dan saat
ini.
Sekolah dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius,
misalnya, nation and character building,
nilai-nilai resmi itu wajip diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran
resmi yang seragam pula. Maka, lihatlah; setelah semua anak sekolah diwajipkan
berpakaian seragam, menyusul pula kewajiban-kewajiban berseragam lainnya,
nyaris dalam segala hal. Dan, itulah yang lebih membuat saya pusing tujuh
keliling: pakaian seragam, mata pelajaran seragam, bahasa dan cara bicara
seragam, tingkah laku seragam dan, lama kelamaan, wajip seragam pula isi kepala
dan isi hati mereka.
Manusia pada umumnya, sibuk mencari dan menafsirkan
segala sesuatu tentang alam raya yang masi belum terpecahkan (ontologi), yang
lainnya lagi sibuk melukiskan sesuatu oleh seorang subjek kepada mereka objek
tentang hakikat ilmu pengetahuan (epistemologi), sedangkan manusia yang lainnya
sibuk menilai hakikat daripada nilai-nilai fundamnental ilmu pengetahuan yang
di agung-agungkan oleh umat manusia tersebut (aksiologi). Sebab, apa yang di
kritisi oleh kelompok/golongan manusia terhadap segala jenis disiplin ilmu
pengetahuan yang ada mereka tak hanya sekedar mengkritisi tanpa bukti konkrit
yang ilmia, mereka mengkritisi segala macam disiplin ilmu atas dasar bukti dan
data yang konkrit. Oleh sebab itu, pada dasarnya ilmu pengetahuan turut
memberikan kontribusi dalam melahirkan segalah macam jenis persoalan sosial
yang berfitra dualisme absolut.
Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kuantitatif
Banyak orang-orang Papua
yang telah mendapatkan pendidikan yang layak sejak orang-orang Papua tersebut
mulai di integrasikan ke dalam bingkai negara kesatuan Repilik Indonesia (NKRI)
pada 1 Mei 1963. Pendidikan yang layak pun di implementasikan oleh pemerintah
Indonesia tidak sepenuhnya untuk mencerdaskan orang-orang Papua, akan tetapi
sebaliknya membodohi orang-orang Papua dengan mekanisme pembelajaran yang di
ajarkan oleh mereka yang mengajarkan (Guru), kepada mereka yang sedang
diajarkan (murid) tersebut.
Sekarang, jumlah sumber daya orang-orang Papua sudah
lebih dari cukup. Dapat kita liaht dalam satu tahun berapa jumlah para sarjanah
dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu Sosial, Ilmu Bisnis, Ilmu Teknik,
Ilmu hubungan Internasional dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang di dapatkan
oleh orang-orang Papua itu sendiri dari masing-masing propinsi dan
kabupaten-kabupaten yang ada di seluruh tanah Papua. Karenanya, implikasinya
adalah sumber daya manusia Papua dari perpektif kuantitatif sudah lebih dari
cukup untuk mengubah tatanan sosial yang timpang. Yang mana tatanan mapan yang
destruktif tersebut adalah problem sosial yang harus dikonservasikan oleh
agen-agen intelektual asal Papua itu sendiri demi tercapainya kehidupan sosial
yang harmonis dan damai diatas tanah Papua bagi umat Tuhan seluruhnya.
Kesejahteraan, kedamaian dan keharmonisan relasi sosial
antara orang-orang di suatu tempat dengan tempat lainnya dapat terlaksana
sebagaimana mestinya tergantung jumlah volume sumber daya manusia (SDM), dalam
mengkontribusikan idealismenya dalam mengubah suatu tatanan sosial destruktif
yang telah mapan. Dalam implementasi, mekanismenya dapat di lakukan dengan
berbagai macam metode, bisa juga melalui sistem, bisa juga melalui usaha atau
membuka lapangan kerja atas dasar prinsip kolektif, bersosialisasi dll.
Sumber Daya Manusia Papua (SDM-P) Secara Kualitatif
Barusan telah kita lihat sedikit
secara seksama bahwa jumlah sumber daya manusia Papua (SDM-P) sudah sangat
cukup. Lalu yang menjadi pertanyaan pokok adalah, apakah dari sekian banyak
jumlah volume sumber daya manusia Papua tersebut dari perspektif kualitatif
sudah cukup ?
Dapat kita lihat bahwa, yang saat ini sedang terjadi
adalah orang-orang Papua lebih banyak menganyam pendidikan hanya untuk menggapi
gelar semata. Esensinya adalah gelar tersebut hanyalah sekedar gelar, gelar tak
akan memberikan kontribusi kualitas intelektualitas. Gelar hanyalah sebuah
tambahan huruf yang menunjukan kemampuan seseorang pada suatu bidang disiplin
ilmu yang sudah seseorang gapai, yang
hakikatnya adalah gelar tersebut hanya menunjukan bahwa kebenaran
intelektualitas seseorang itu sendiri. Akan tetapi intelektualitas tersebut tak
dapat dibuktikan secara nyata di lapangan.
Sehingga sumber daya manusia Papua yang beribu-ribu
tersebut dari perspektif kuantitatif sudah lebih dari cukup, akan tetapi dari
perspektif kualitatif masi belum dari cukup pula. Oleh karena itu, dalam
menimbah ilmu dalam berbagai disiplin ilmu yang diperlukan dan yang harus
dipenuhi oleh seorang calon intelektualitas adalah penguasaan ilmu tersebut
secara kapabilitas, yang pada akhirnya akan terlihat kualitatif dari seorang
intelektualitas itu sendiri.
Pengaplikasian Intelektualitas Di Lapangan
Pergolakan antara kaum
intelektual asal Papua di atas tanah Papua adalah pergolakan “darah” melalui
instrumen politik praktis, politik identitas, politik oportunis dan yang
lain-lain. Sebab, apa yang diperjuangkan oleh kaum intelektual bukan untuk
memperjuangkan nasip kelompok masyarakat Papua. Intelektualitas hanya
dipergunakan sebagai instrumen untuk kembali mengeksploitasi dan menindas
masyarakat Papua yang akhirnya akan pula terjadi konflik antar kelompok
masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Intelektualitas
orang-orang Papua yang telah didapatkan melalui lembaga-lembaga pendidikan
milik pemerintah Indonesia, dalam mengaplikasikan nya di lapangan, sudah tidak
sesuai pula dengan kompotensi yang ia miliki.
Karena memang, saat ini orang-orang Papua yang
berintelektual lebih memikirkan kepentingan dirinya sendiri beserta
kelompoknya. Semuanya ikut serta dalam pergolakan politik yang tidak sehat,
pergolakan politik yang mengorbankan masyarakat, pergolakan politik yang
mengatasnamakan masyarakat dan pergolakan politik yang hanya membuang-buang
waktu dan tenaga, serta memperpanjang penderitaan bagi masyarakat Papua. Esensi
daripada kaum intelektual yang dalam hal ini pernah menjabat sebagai pemimpin
dalam jabatan pada level Gubernur, Bupati, DPR, DPRP, DPD, MRP, Camat dan
lain-lain tak pernah memperhatikan nasip dan kesejahteraan masyarakat dalam hal
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Apalagi memenuhi aspirasi masyarakat
Papua. Yang ada saat ini adalah yang menindas dan membuat menderita masyarakat
adalah kelompok kaum intelektual itu sendiri melalui sistem yang sedang mereka
jalankan tersebut.
Yang sekarang menjadi masalah fundamental bagi kaum
intelektual Papua adalah, Orang yang berlatar belakang pendidikan dengan
kompetensi ilmu Teknik dapat terlibat dalam pergolakan politik, yang seharusnya
tidak dapat dilakukan olehnya karena memang berpolitik bukanlah kompentensinya.
Demikian sebaliknya, orang yang berlatar belakang pendidikannya sebagai seorang
politikus tak dapat mengerjakaan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan
keteknikan, begitupun orang dengan latar belakang pendidikannya sebagai dokter
tak dapat melaksanakan politik karena itu bukan sebagian dari bidangnya dan
seterusnya dan seterusnya. Namun dari semua di atas, untuk wilayah Indonesia
bagian timur itu (Papua) tak ada yang mustahil, semuanya dapat di laksanakan. Yang artinya, adalah jika satu orang Papua yang berlatar belakang pendidikannya
adalah seorang sarjana politik, anggap saja semua hal tentang pengetahuan entah
itu politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain telah di ketahui olehnya
walaupun ia hanya seorang sarjana ilmu politik, namun tentang yang lainnya ia
serba tau atau serba berpengetahuan.
Hal serupa, adalah suatu hal yang membuat kaum intelektual asal Papua tersebut menjadi terpecah belah di atas tanah dan negri mereka sendiri, yang mana tanah dan bumi Papua itu sendiri lagi sedang berada dalam keadan menderita. Dan penderitaan tersebut adalah tantangan bagi kaum intelektual Papua untuk bagaimana mengkonservasikannya kembali layaknya semula. Egosentrisme intelektual, masi terprogram secara penuh pada jiwa rasional kaum intelektual Papua, dan hal itu adalah suatu penyakit kaum intelektual Papua yang susah untuk di sembukan secara bertahap. Karena penawar penyakit tersebut hanya ada pada seorang subjek yang berintelektual itu sendiri. Oleh karenanya, Pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua masih belum ada proggresnya dalam menjawab segalah macam permasalahan sosial yang sedang terjadi dan sedang di alami pula oleh masyarakat Papua secara keseluruhan.
Hal serupa, adalah suatu hal yang membuat kaum intelektual asal Papua tersebut menjadi terpecah belah di atas tanah dan negri mereka sendiri, yang mana tanah dan bumi Papua itu sendiri lagi sedang berada dalam keadan menderita. Dan penderitaan tersebut adalah tantangan bagi kaum intelektual Papua untuk bagaimana mengkonservasikannya kembali layaknya semula. Egosentrisme intelektual, masi terprogram secara penuh pada jiwa rasional kaum intelektual Papua, dan hal itu adalah suatu penyakit kaum intelektual Papua yang susah untuk di sembukan secara bertahap. Karena penawar penyakit tersebut hanya ada pada seorang subjek yang berintelektual itu sendiri. Oleh karenanya, Pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua masih belum ada proggresnya dalam menjawab segalah macam permasalahan sosial yang sedang terjadi dan sedang di alami pula oleh masyarakat Papua secara keseluruhan.
Keberhasilan Dalam Pengaaplikasian Intelektualitas Di
Lapangan
Dalam hal ini, saya tidak
bisa berasumsi kalo sebagian besar kelompok intelektual asal Papua seluruhnya
telah berhasil dalam membangun, membinah, mengarahkan, mendidik, mengajarkan,
bahkan sampae dengan memanusiakan manusia Papua seluruhnya. Dan saya sebagai
orang Papua menyadari bahwa sebagian besar dari seluruh jumlah orang-orang
Papua tersebut bukanlah sebagian dari orang-orang yang berintelektual dan
berpendidikan sepenuhnya.
Akan tetapi, sudah dijelaskan di muka bahwa, secara
kuantitatif jumlah kelompok orang-orang Papua yang berintelektual sangatlah
cukup/sudah sangat cukup pula dibandingkan dengan kelompok orang-orang Papua
yang berintelektual pada tahun 60-an. Sedangkan secara kualitatif intelektualitas
orang-orang Papua masih belum sampai pada intelektualitas secara kapabilitas. Oleh
sebab itu, dalam mengubah tatanan sosial yang destruktif yang mana sedang di
alami oleh umat Tuhan di atas tanah Papua tersebut, akan sangat sulit pula.
Sebab, yang selama ini dipelajari oleh orang-orang Papua pada khususnya, dan
pada umumnya orang-orang Indonesia pada institusi pendidikan yang ada, adalah
tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya sedang dialami oleh bangsa Papua
dan bangsa Indonesia ini sendiri. Generasi bangsa Indonesia dan Papua moralnya
turut serta di hancurkan oleh institusi pendidikan yang sedang ditekuni oleh
pelajar yang sedang diajarkan oleh mereka yang mengajarkan tersebut.
Karenanya, keberhasilan
kelompok orang-orang Papua yang berintelektual dalam melayani, mengayomi dan
membebaskan seluruh masyarakat Papua dari keadaan kenyataan sosial yang timpang,
dan ketidakadilan masih belum sepenuhnya terlaksana secara absolut. Hal ini,
telah terlaksana sejak pada awal bangsa Papua di integrasi bersama bangsa
Indonesai pada 1963 hingga saat ini. Ada trobosan-trobosan yang telah
diimplementasikan oleh kelompok kaum intelektual asal Papua itu sendiri, dalam
mengatasi segalah jenis perkara yang sedang timbul dan terjadi diatas tanah
Papua tersebut dalam perpolitikan, perekonomian, sosial, budaya, pendidikan dan
lain-lain. Namun, apa yang sedang dikerjakan tersebut yang oleh kaum
intelektual tidak berjalan secara horizontal (lancar dan maju) akan tetapi
semua usaha tersebut berjalan secara evolusioner. Karena pada dasarnya,
egosentrisme intelektualitas masi terproggram dengan sangat rapi pada jiwa
rasional kelompok kaum intelektual tersebut. Satu hal fundamental, yang hingga
saat ini belum juga dilakukan oleh kelompok kaum intelektual Papua adalah belum
adanya pemikiran untuk bersatu dalam satu wadah (organisasi) yang akan dipergunakan
sebagai instrumen dalam menciptakan sistem produksi sosial ataupun perjuangan
pembebasan hak-hak dasar rakyat Papua itu sendiri.
Sehingga dengan ini, dapat
saya asumsikan bahwa kelompok kaum intelektual asal Papua dalam pengaplikasian
intelektualitasnya di lapangan tidak dapat dikatakan sangat proggresif. Akan
tetapi, semua pengaplikasian intelektualitas orang-orang Papua dilapangan masih
sedang berkembang dan sedang berjalan secara evolusioner, namun itu bukan
berarti akan mengalami kegagalan. Sebab, semuanya akan menuai hasilnya
dikemudian hari, dan sebuah keberhasilan pengaplikasian suatu intelektualitas
adalah suatu perjuangan yang harus diperjuangkan secara fisik dan akal sehat
seorang intelektual tersebut. Dan saya menyadari bahwa, apa yang sedang
diperjuangkan oleh kelompok komunitas orang-orang intelektual asal Papua
tersebut semakin proggresif saat ini, yang dimulai dari, tokoh-tokoh Agama,
mahasiswa, tokoh-tokoh adat, serta mereka orang-orang yang berada dalam sistem
birokrasi, rakyat sipil, dan lain-lain.
Ada suatu trobosan yang baru-baru ini yang dibuat oleh kelompok agen intelektual Papua yang terdiri dari beberapa oraganisasi revolusioner yang telah bergabung menjadi satu-kesatuan dalam satu wadah yang dinamai oleh beberapa organ tersebut yang kita kenal dengan sebutan " Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua" yang selanjutnya disingkat dengan "SEPAHAM". Terbentuknya organ gerakan tersebut tidak terlepas dari bentuk-bentuk penindasan, pengeksploitasian SDA besar-pesaran, penghisapan dan lain-lain yang sedang maraknya diimplementasikan oleh penjajah kolonial dan imperialisme dibawah hegemoni militarisme atas bumi Papua dan manusia Papua tersebut. Sehingga, dengan melihat kondisi-kondisi ini, bahkan sudah adanya banyak gerakan-gekan mahasiswa Papua yang berfokus dengan berbagai isu, mulai dari isu hak penentuan nasib sendiri, hingga isu-isu sektoral, mulai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-Papua), serta Solidaritas Nasional, Mahasiswa, dan Pemuda Papua Barat (SONAMAPPA), telah melakukan konferensi bersama yang mana telah melahirkan sebuah gerakan persatuan yaitu Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham). Terbentuknya organ (SEPAHAM) pada 15 November 2018, kalao tidak salah. Jiak salah tanggalnya mohon untuk diklarifikasi melalui komentar anda. Terbentuknya wadah gerakan ini adalah suatu gagasan brilian dan sangat progresif yang pernah dibentuk dan dipikirkan oleh kelompok agen inteletual Papua yang ada. Dan hal tersebut adalah wujud daripada kemajuan rakyat bangsa Papua dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan militarisme yang sedang mempraktikan penjajahan atas bangsa Papua barat itu sendiri.
Ada suatu trobosan yang baru-baru ini yang dibuat oleh kelompok agen intelektual Papua yang terdiri dari beberapa oraganisasi revolusioner yang telah bergabung menjadi satu-kesatuan dalam satu wadah yang dinamai oleh beberapa organ tersebut yang kita kenal dengan sebutan " Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua" yang selanjutnya disingkat dengan "SEPAHAM". Terbentuknya organ gerakan tersebut tidak terlepas dari bentuk-bentuk penindasan, pengeksploitasian SDA besar-pesaran, penghisapan dan lain-lain yang sedang maraknya diimplementasikan oleh penjajah kolonial dan imperialisme dibawah hegemoni militarisme atas bumi Papua dan manusia Papua tersebut. Sehingga, dengan melihat kondisi-kondisi ini, bahkan sudah adanya banyak gerakan-gekan mahasiswa Papua yang berfokus dengan berbagai isu, mulai dari isu hak penentuan nasib sendiri, hingga isu-isu sektoral, mulai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-Papua), serta Solidaritas Nasional, Mahasiswa, dan Pemuda Papua Barat (SONAMAPPA), telah melakukan konferensi bersama yang mana telah melahirkan sebuah gerakan persatuan yaitu Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham). Terbentuknya organ (SEPAHAM) pada 15 November 2018, kalao tidak salah. Jiak salah tanggalnya mohon untuk diklarifikasi melalui komentar anda. Terbentuknya wadah gerakan ini adalah suatu gagasan brilian dan sangat progresif yang pernah dibentuk dan dipikirkan oleh kelompok agen inteletual Papua yang ada. Dan hal tersebut adalah wujud daripada kemajuan rakyat bangsa Papua dalam melawan kolonialisme, imperialisme dan militarisme yang sedang mempraktikan penjajahan atas bangsa Papua barat itu sendiri.
Kegagalan Dalam Pengaplikasian Intelektualitas Di
Lapangan
Jika di tinjau lagi di
lapangan secara langsung apakah para intelektualitas Papua tersebut sudah
berhasil atau tidak dalam menjawab problem sosial secara menyeluruh atau tidak,
maka dapat dikatakan tidak. Karena yang ada, adalah kehidupan masyarakat Papua
saling berhadapan dengan ganasnya aparat TNI/POLRI yang setiap saat melaksanakan tindakan
persekusi terhadap masyarakat Papua. Yang oleh tindakan aparat negara tersebut
telah banyak mendatangkan bencana pelanggaran HAM besar-besaran terhadap
masyarakat Papua. Yang menjadi pertanyaan pokok adalah, kemana semua para
sarjana hukum asal Papua itu ? Sampai dimanakah kerja-kerja mereka para sarjana
hukum asal Papua itu, ketika terjadi pelanggaran HAM secara bertahap terhadap
masyarakat Papua tersebut ? Beribu-ribu kasus HAM Papua yang tertumpuk, bagian kasus
HAM mana yang oleh para sarjana hukum asal Papua tersebut sudah
menyelesaikannya secara tuntas dan bertahap ? Hingga saat ini pelaku kasus
pelanggaran HAM masi tetap diberikan hak impunitas oleh otoritas negara. Dapat
ditarik sedikit kesimpulan bahwa, para sarjana hukum asal Papua belumlah
evektif dalam mengerjakan apa yang menjadi bagiannya dan apa yang harus
dikerjakan olehnya sebagaimana mestinya sesuai kompetensinya. Dan itu menjadi
tantangan kedepan untuk bagaimana meluruskan barisan (Bersatu) bagi para
sarjana hukum asal Papua tersebut untuk lebih proggresif dalam mengangkat isu
kemanusiaan dan berbicara keadilan bagi mereka yang membutuhkan keadilan yang
hakiki.
Dan bagaimana dengan para sarjana Kesejahteraan Sosial
asal Papua itu ? apakah mereka sudah sesuai melaksanakan tugas dan fungsinya di
lapangan atau tidak ? dalam membimbing masyarakat Papua untuk hidup lebih baik
tanpa konflik, tanpa kecemburuan sosial antara masyarakat Papua (Pribumi)
dengan masyarakat pendatang (Non-Papua), dan bagaimana cara melakukan aktivitas
sosial berdasarkan etika-etika sosial dan budaya. Dapat di katakan bahwa, para
sarjana Kesejahteraan Sosial masih belum efektif dalam menjalankan tugasnya di
lapangan secara nyata. Sehingga hal tersebut adalah telah gagalnya intelektualitas
yang dimiliki oleh para sarjana tersebut. oleh karena itu, tantangan bagi para
sarjana Kesejahteraan Sosial adalah bagaimana membinah, mendidik dan
mensosialisasikan kepada masyarakat antara yang baik dan tidak baik, atau apa
yang harus dilakukan oleh masyarakat dan yang tidak harus dilakukan oleh
masyarakat tersebut secara bertahap pada setiap daerah yang harus di berikan
arahan tentang hal-hal yang positif dan negatif bagi masyarakat Papua. Karena
gagalnya pengaplikasian pengetahuan tersebut di lapangan sehingga masyarakat
tersebut akan dengan mudah untuk di manipulasi atau di hasut oleh
kelompok-kelompok tertentu.
Contoh khasus yang baru saja terjadi adalah pemberian
hibah 90 hektare tanah yang oleh kepala suku yang bernama “Alex Doga” anak dari
kepala suku “Silo Sukarno Doga” kepada TNI-AD di Jayawijaya (Wamena) tepat pada
26, Sepetember, 2018. Beliao kepala suku “Silo Sukarno Doga” adalah salah satu
kepala suku selain “Kurulu Mabel”, dan “Ukum Hearik Aso” yang mengambil peran
penting dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakayat (PEPERA) 1969 pada saat
itu. Singkatnya merekalah kelompok orang-orang yang berpengaruh yang hakikatnya
pro terhadap pemerintah kolonial Indonesia. Dan yang sudah terjadi atas hal
pemberian tanah tersebut adalah keberhasilan pihak aparat dalam mensosialisasi kan
tujuan mereka sekaligus maghasut masyarakat yang didalamnya adalah kepalah suku
sebagai objekenya. Jika para sarjana Kesejahteraan Sosial ataupun para
Intelektual asal Papua lebih dulu telah memberikan pemahaman yang baik melalui
sosialisasi terhadap masyarakat tersebut maka masyarakat tersebut tak akan
mudah untuk di hasut ataupun di manipulasi dengan berbagai macam cara. Dan
kejadian seperti hal diatas kemungkinan besar tak dapat terjadi pula.
Sedangkan para sarjana ilmu Pemerintahan asal Papua yang
jumlahnya sangat banyak itu, bagaimana dengan aktivitas mereka sehari-hari
dalam menjalankan kerja-kerja mereka dalam sistem pemerintahan dan diluar dari
sistem pemerintahan ? ada sebagian para sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua
yang bekerja dalam sistem pemerintahan yang tiap-tiap saat mengatur tentang
manajemen dan penegendalian sistem pemerintahan, namun sampai saat ini masih
banyak pula pengangguran para sarjana asal Papua itu sendiri. Lalu akan
bagaimana nasip para sarjana yang menganggur tersebut ? jika para sarjana asal
Papua yang telah berada pada posisi aman dalam sistem pemerintahan tak bisa membuat
sesuatu dan tetap saja ambil sikap apatis, serta tak mau membantu para sarjana
asal Papua lainnya yang berstatus penganggur tersebut untuk mendapatkan hak
mereka layaknya para sarjana lainnya, maka itu adalah suatu kegagalan para
sarjana Ilmu Pemerintahan asal Papua tersebut. Dengan adanya keberadaan mereka
dalam sistem pemerintahan tersebut sehingga kesempatan tersebut dapat di
manfaatkan sebaik-baiknya untuk bagaimana orang-orang Papua di masukan
sebanyak-banyaknya dalam sistem pemerintahan yang ada, sebab orang-orang Papua
sudah harus di prioritaskan dalam sistem pemerintahan yang ada di atas tanah
Papua. Akan tetapi, yang terjadi saat ini adalah sebagian besar para sarjana
asal Papua terdiri dari pengangguran yang terbengkalai begitu saja. Dan hal
demikian adalah kegagalan total orang-orang Papua yang berintelektual yang
sedang beraktivitas dalam sistem pemerintahan yang ada.
Lalu bagaimana dengan para Sarjana Kesehatan asal Papua
yang saat ini dapat dikatakan sudah cukup pula jumlahnya. Apa yang sudah mereka
kerjakan terhadap kesehatan masyarakat Papua ? yang hingga saat ini tingkat
kematian yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit, kurangnya gizi/gizi
buruk, kematian ibu dan anak meningkat di seluruh pelosok bumi Papua. Adakah
hasil riset-riset ilmia secara langsung dilapangan terkait sebab, akibat atau
asal-usul penyakit yang diderita oleh masayarakat Papua oleh para sarjana
Kesehatan tersebut ? adakah solusi-solusi yang di tawarkan oleh para sarjana
kesehatan tersebut kepada pemerintah Papua untuk di tindak lanjuti lebih lanjut
? terkait kesehatan masyarakat Papua itu sendiri.
Kenyataanya kebanyakan para sarjana kesehatan asal Papua
tersebut lebih memilih tempat-tempat yang terhormat, lebih memilih untuk di
hargai martabatnya sebagai seorang dokter atau ahli kesehatan. Tidak ada yang
memilih untuk melayani masyarakat yang ada di pedesaan, atau singkatnya
masyarakat yang berada jauh dari jangkauan wilayah perkotaan dan sekitarnya.
Sehingga hal tersebut ialah sebuah kegagalan yang harus diperhatikan dan di
perbaiki pula oleh para sarjana kesehatan untuk bagaimana menjawab
tantangan-tantangan kesehatan masyarakat Papua yang belum pula di selesaikan
oleh para sarjana kesehatan terdahulu.
Lalu bagaimana dengan para intelektualitas yang terdiri
dari para guru asal Papua itu sendiri ? yang hingga kini, pada dasarnya
penyakit kebodohan itu masi melekat pada semua generasi orang-orang Papua itu
sendiri. Kebodohan yang masih diderita oleh semua orang-orang Papua tersebut
tak pernah dipertanyakan oleh kelompok intelektual Papua yang ada. Mereka
membiarkan kebodohan tersebut tetap menguasai generasi orang-orang Papua hingga
kini. Oleh karenanya, apa yang telah dilakukan oleh para guru asal Papua itu ?
Dalam mencerdaskan generasi orang-orang Papua. Yang ada, hanyalah para guru
tersebut tidak pernah mengabdi dengan sungguh-sungguh dalam mendidik dan
mencerdaskan generasi orang-orang Papua tersebut. Dan para guru asal Papua
tersebut turut serta dalam memberikan kontribusi penyakit kebodohan kepada
generasi orang-orang Papua, yang mana generasi orang-orang Papua tersebut
senantiasa dididik, dibina, diajarkan dan diarahkan pikirannya pada hal-hal
yang hakikatnya tak diketahui oleh para murid yang sedang menerima ilmu pengetahuan
tersebut melalui para guru yang bukan pula orang asli Papua itu sendiri. Namun
apa yang diajarkan oleh para guru migran tidak semuanya mengajarkan murid untuk
bagaimana membodohi murid tersebut. Oleh karena itu, yang mempunyai peran
penting dalam mencerdaskan suatu bangsa sepenuhnya ada pada peran guru yang
selalu mengambil peran penting tanpa jasah. Jika para guru memiliki rasa
patriotisme yang tinggi niscaya ia akan melakukan apa yang menjadi tugasnya
sebagai seorang guru dalam mencerdaskan bangsanya dengan sungguh-sungguh, dan
guru seperti ini memiliki target khusus dalam memdidik dan mencerdaskan suatu
bangsa yang adalah sebagian daripada bangsanya sendiri.
Dan bagaimana dengan para sarjana ekonomi yang jumlahnya
tak kalah banyak itu ? Banyak orang-orang Papua yang terdiri dari sarjana
ekonomi, tetapi yang menjadi pertanyaan pokok disini adalah, bagaimana
kemiskinan itu masih tetap merajalela di seluruh pelosok bumi Papua tersebut ?
Apakah ada riset-riset ilmia berdasarkan observasi langsung di lapangan yang
berhubungan dengan penyebab kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi yang hingga
kini masi tetap merengut orang-orang Papua tersebut ? yang hingga saat ini, tak
ada suatu trobosan fundamental yang telah dilakukan oleh para sarjana ekonomi
asal Papua tersebut untuk bagaimana bersama rakyat membuat suatu draf sistem
produksi, ataupun membuat kegiatan-kegiatan dalam mendidik masyarakat untuk
mengembangkan ekonomi mandiri bagi rakyat untuk bagaimana mereka bersaing
secara akal sehat dalam hal ekonomi. Akan tetapi, karena hal serupa adalah sebagian
daripada kegagalan para sarjana ekonomi asal Papua itu sendiri, namun bukan
berarti semuanya telah gagal total, yang hingga kini, mungkin ada sebagian dari
para sarjana ekonomi asal Papua tersebut sedang dalam proses perencanaan draf
sistem produksi bersama rakyat. Untuk mengeluarkan rakyat dari ketimpangan
ekonimi yang ada. Dalam hal ini, peran bagi para sarjana ekonomi adalah sangat
fundamental, dan yang harus dilakukan oleh para sarjana ekonomi asal Papua
adalah dengan cara membangun konstruksi persatuan antara para sarjana ekonomi
itu sendiri. Setelahnya tinggal bagaimana mereka berpikir untuk menguasai
ekonomi Papua secarah penuh. sehingga, dengan ini janganlah pelihara penyakit
egosentrisme intelektualitas.
Yang lebih jelasnya lagi, dari semua para agen
Intelektual asal Papua dari berbagai disiplin ilmu yang ada saat ini, adalah
belum dewasa dalam memandang realitas sosial yang sedang di alami oleh seluruh
masyarakat Papua dalam hal ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan dan lain-lain.
Dan karenanya, belum dewasa pula dalam menjalankan kompetensinya secara
langsung dilapangan, sehingga para agen intelektual tersebut tak dapat pula mengubah
tatanan sosial yang mapan. Kiranya dapat di ulangi lagi perkataan awal adalah
penyakit egosentrisme intelektualitas masi mengakar pada jiwa rasional manusia
Papua. Oleh karena itu, intelektualitas tanpa praksis sama halnya dengan tak menghasilkan
suatu perubahan, demikian sebaliknya, suatu perubahan tanpa praksis sama halnya
dengan tak menghasilkan suatu perubanan pula. Perubahan membutuhkan persatuan
dan solidaritas dari para agen intelektual, dalam menyusun draf stratak untuk
mengubah tatanan sosial yang berfitra destruktif absolut. Maka, tugas daripada
para intelektual Papua adalah bersatu dan segera membentuk konfigurasi
komunitas dari setiap para sarjana yang ada dari berbagai didiplin ilmu. Dan
masing-masing dapat jalan sesuai dengan fungsinya, yang artinya saling
bergotong royong dalam implementasi aktivitas kemanusiaan dan sejenisnya bagi masyarakat
Papua.
Sebab Dari Semua
Kurangnya peran dari para
agen intelektual yang berasal dari orang-orang Papua itu sendiri, tentunya
sangat membawa dampak yang cukup signifikan pada masyarakat Papua yang sebagian
besar masih berada dalam keadaan tak sadar akan kenyataan sosial yang sedang
dialami olehnya sendiri. Masyarakat Papua tak tau bahwa sebenarnya ia adalah
objek yang dikendalikan, dikontrol ataupun diawasi atau, subjek yang mengontrol
dan mengendalikan sektor-sektor fundamental macam politik, ekonomi dan
lain-lain. Esensinya ialah, masyarakat Papua adalah objek yang telah diobjekkan
oleh negara sentral (Jakarta). Sehingga masyarakat Papua maupun pemerintah
Papua semuanya adalah objek yang senantiasa dipantau, diawasi, dikontrol, dan
dikendalikan melalui mekanisme sistem yang di teruskan oleh jakarta terhadap
Papua. Oleh sebab itu, dalam hal ini peran para agen intelektual sangat penting
dan sangat mendesak pula dalam menyampaikan hakikat daripada kenyataan sosial
saat ini kepada masyarakat Papua seluruhnya. Kenyataan yang destruktif yang mana
sedang dialami oleh masyarakat Papua saat ini, faktor utamanya ada pada para
kaum intelektual Papua itu sendiri. Jika para agen intelektual tetap mengambil
bagian menjadi agen intelektual yang apatis, maka keadaan kehidupan masyarakat
Papua tersebut akan tetap berada dalam keadaan hancur-hancuran seperti yang ada
saat ini.
Akibat
Dari Semua
Akibat dari semua sebab daripada keberhasilan dan juga
kegagalan pengaplikasian intelektualitas yang oleh para agen intelektual dari
Papua itu sendiri telah saya bicarakan panjang lebar diatas. Dan dampaknya pun
sangat banyak dan berheterogen pula yang dialami oleh masyarakat Papua tersebut.
Implikasinya adalah keberhasilan daripada pengaplikasian intelektualitas di
lapangan secara nyata masih belum efektif untuk seluruh bumi Papua.
Penutup
Kita sebagai agen intelektual Papua tidak pernah berpikir
untuk merencanakan draf konstruksi persatuan untuk menciptakan revolusi
intelektual. Sebab, revolusi intelektulal adalah suatu gerakan yang harus di
implementasikan oleh para agen intelektual untuk mengubah tatanan sosial yang
korup dan menindas. Seperti gerakan reformasi pada 1998 yang dimotori oleh
sebagian besar golongan intelektual yang terdiri dari mahasiswa dan lain-lain,
yang pada akhirnya sebuah rezim yang otoritarian di gulingkan dari tempuk
kekuasaannya. Oleh sebab itu, peran para agen intelektual yang ada di Papua
sangatlah pokok dalam membimbing masyarakat, mengarahkan masyarakat, mendidik
masyarakat akan etika sosial dan budaya, membangun sistem produksi bersama
masyarakat, melakukan sesuatu bagi kepentingan masyarakat, dan masi banyak hal
yang harus para agen intelektual kerjakan dalam memenuhi kepentingan masyarakat
Papua tersebut. Karena itu, untuk implementasinya tidak bisa secara
individu/personal akan tetapi harus pula secara kolektif oleh mereka para
golongan intelektual asal Papua tersebut. Kita jangan mempertahankan egosentrisme
kita kaum intelektual, karena itu penyakit yang mematikan intelektual kita dan
membuat kita bertamba bodoh dan dungu.
Sumber Referensi:
Sekolah itu canduh; sekolah yang diagungkan oleh umat
manusia
http://puntodewoblogspotcom.blogspot.com/2012/05/revolusi-intelektual-sebagai-dasar.html